Entri Populer

Selasa, 11 Januari 2011

TEORI-TEORI SOSIOLOGI DAN REALITAS SOSIAL

TEORI-TEORI SOSIOLOGI DAN REALITAS SOSIAL
Oleh : Nurdin Taher


A.       Realitas Sosial: Antara Teori-Teori Sosiologi

Sebelum menjelaskan perbedaan ontologis tentang realitas sosial antara teori-teori sosiologi yang berkembang pada era post-struktural dan post-modern dibanding teori-teori sosiologi yang berkembang pada era klasik maupun modern, maka terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan realitas sosial sendiri.
Realitas sosial adalah pemaknaan individu yang bersumber dari interaksi individu dengan individu lain. Seorang sosiolog harus bisa menyningkap berbagai tabir dan mengungkap tiap helai tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga. Syaratnya, sosiolog tersebut harus mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan obyektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif.
Menurut Lemert (1990) bahwa peralihan atau transisi dari strukturalisme ke post strukturalisme terjadi pada tahun 1966, karena pada tahun tersebut Jacques Derrida, sebagai tokoh utama pendekatan ini, memproklamirkan awal era baru post-struktualisme.
Menurut Derrida, bahasa hanya sekedar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, tidak seperti halnya kaum strukturalis yang melihat individu dikendalikan oleh struktur bahasa. Menurut istilah masa kini, Derrida mendekonstruksikan bahasa dan institusi sosial, dan ketika ia mendekonstruksikannya, semua yang ia temukan adalah tulisan.
Sasaran permusuhan Derrida adalah logosentrisme (pencarian sistem berpikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah, dan seterusnya) yang telagh mendominasi pemikiran sosial Barat. Kalimat yang tepat untuk melukiskan sasaran perhatian Derrida ini adalah “dekonstruksi logosentrisme”.
Tokoh lain dari post-strukturalisme, selain Derrida, adalah Michel Foucoult. Foucoult tidak hanya mengadopsi ide dari pemikir lain, tetapi juga diubahnya dan diintegrasikan ke dalam orientasi teoritisnya sendiri yang tidak lazim. Jadi, teori rasionalisasi Weber itu tak berperan sebagai “kerangkeng baja”, hanya sebagai “tempat kunci” tertentu, selalu ada perlawanan terhadap rasionalisasi.
Selain ide Weber yang diadopsi oleh Foucoult, ide Marxian juga menjadi landasan berpikir Foucoult, tetapi ia tidak membatasi dirinya pada ekonomi semata sebagaimana Marxian, akan tetapi ia memusatkan perhatiannya pada sejumlah besar institusi, yakni pada “politik mikro kekuasaan” ketimbang memusatkan perhatian pada kekuasaan di tingkat kemasyarakatan sebagaimana yang dilakukan Marxian tradisional. Terakhir, dan mungkin yang terpenting, Foucoult mengadopsi pemikiran Nietzsche tentang hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, tetapi hubungannya itu lebih banyak dianalisisnya secara sosiologi. Sasaran perhatrian teoritisi post-strukturalisme (dan post-modernis) yang lainnya, adalah decentering (Ritzer dan Goodman, 2007).
Modernisme adalah suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian dan kemungkinan mengetahui kebenaran dengan hanya menggunakan penalaran manusia. Oleh karena itu, dalam arti simbolik penalaran menggantikan posisi Tuhan, naturalisme menggantikan posisi supernatural. Modernisme sebagai pengganti dinyatakan sebagai penemuan ilmiah, otonomim manusia, kemajuan linier, kebenaran mutlak (atau kemungkinan untuk mengetahui), dan rencana rasional dari social order Modernisme dimulai dengan rasa optimis yang tinggi.
Sedangkan postmodernisme adalah sebuah reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial; kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan.
Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Singkatnya, postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam persepktif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing. Ditambahkan oleh situs bahwa salah satu dari elemen utama dari postmodernisme adalah constructedness of reality and hence the inaccessibility of the real. Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri.
Pendapat lain menyebutkan bahwa teori postmodernisme atau dikenal dengan singkatan “posmo” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori postmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991). Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.. Pada situs tersebut juga disebutkan bahwa berdasarkan pandangan postmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Pengertian lain mengenai postmodernisme menyebutkan bahwa postmodernisme adalah sebuah istilah yang abstrak dan teoritis yang dibedakan dengan istilah postmodernity, yang mendeskripsikan mengenai iklim sosiologi atau budaya. Istilah postmodernisme dibuat pada akhir tahun 1940 oleh sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan pada pertengahan 1970 oleh kritikus seni dan teori asal Amerika, Charles Jencks, untuk menjelaskan gerakan antimodernisme seperti Pop Art, Concept Art, dan Postminimalisme. Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap mengenai postmodernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Ia memandang postmodernisme muncul sebelum dan setelah modernisme, dan merupakan sisi yang berlawanan dari modernisme. Hal ini diperkuat oleh pendapat Flaskas (2002) yang mengatakan bahwa postmodernisme adalah oposisi dari premis modernisme. Beberapa di antaranya adalah gerakan perpindahan dari fondasionalisme menuju anti-fondasionalisme, dari teori besar (grand theory) menuju teori yang spesifik, dari sesuatu yang universal menuju ke sesuatu yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal menuju ke kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut mencerminkan tantangan postmodernist kepada modernist. Sedangkan Adian (2006) menangkap adanya gejala “nihilisme” kebudayaan barat modern. Sikap kritis yang bercikal bakal pada filsuf semacam Nietzsche, Rousseau, Schopenhauer yang menanggapi modernisme dengan penuh kecurigaan. Sikap-sikap kritis terhadap modernisme tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang dinamakan postmodernisme. Postmodernisme sendiri memecah dirinya dalam tiga jalur wacana : wacana kritis terhadap estetika modern; wacana kritis terhadap arsitektur modern; dan wacana kritis terhadap filsafat modern.
Postmodernisme sebagai wacana pemikiran harus dibedakan dengan postmodernitas sebagai sebuah kenyataan sosial. Postmodernitas adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan reproduksi informasi dimana sektor jasa menjadi faktor yang paling menentukan. Masyarakat adalah masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup. Sedangkan postmodernisme adalah wacana pemikiran baru sebagai alternatif terhadap modernisme. Modernisme sendiri digambarkan sebagai wacana pemikiran yang meyakini adanya kebenaran mutlak sebagai objek representasi bagi subjek yang sadar, rasional, dan otonom. Sebagai realitas pemikiran baru, postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme, seperti adanya subjek yang sadar-diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier. Istilah “pos”, menurut kubu postmodernisme, adalah kematian modernisme yang mengusung klaim kesatuan representasi, humanisme-antroposentrisme, dan linieritas sejarah guna memberi jalan bagi pluralisme representasi, antihumanisme, dan diskontuinitas (http://aryaverdiramadhani.blogspot.com/2007/06/vj-7vi2007-postmoder-nisme-hard-to.html).

B.  Alur Perkembangan Teori sosiologi Interpretatif/Paradigama Definisi Sosial
Tokoh utama dari paradigma definisi social adalah Max Weber. Ritzer (2007) mengungkapkan bahwa pokok persoalan dalam paradigma ini adalah tindakan sosial. Tindakan social adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Weber mengemukakan lima pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi, yaitu:
·      Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subjektif.
·      Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subjektif.
·      Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
·      Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
·      Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
Adapun tiga teori yang yang termasuk ke dalam paradigma definisi social adalah sebagai berikut:
·      Teori Aksi (action theory), dalam teori ini diterangkan mengenai kesukarelaan.
·      Interaksionisme simbolik (simbolic interaksionism), dalam teori ini diterangkan bahwa organisasi masyarakat manusia merupakan kerangka dimana terdapat tindakan sosial yang ditentukan oleh kelakuan individunya.
·      Fenomenology (phenomenology), dalam teori ini diterangkan bahwa ada beberapa kerangka sosial yang nyata yang dapat dibedakan dari tindakan-tindakan manusia individual, namun demikian teori ini juga melihat bahwa manusia individual sebagai orang yang kreatif terhadap kenyataan dirinya sendiri.
Dari perbedaan teori paradigma definisi social di atas, terdapat persamaan sebagai berikut:
·      Manusia adalah merupakan actor yang kreatif dari realitas sosialnya.
·      Realitas sosial bukan merupakan alat yang statis daripada paksaan fakta sosial.
·      Manusia mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol dari fakta sosial (http://devirahman.wordpress.com/2009/%2004/24/paradigma-definisi-sosial/).

Sosiologi modern tumbuh pesat di benua Amerika, tepatnya di Amerika Serikat dan Kanada. Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat pada pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas, dan lain-lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, terjadi perubahan besar masyarakat tak terelakkan.
Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuawan sosial untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahir lah sosiologi modern.
Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya (pendekatan klasik), pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh.
Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan, antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: … akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna.
Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas.
Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi.
Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman … Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional (http://endangkomarasblog. blogspot.com/2009/03/pendekatan-post-modern-dalam_13.html).




C.  Alur Perkembangan Teori Sosiologi Struktural Konflik

Teori konflik yang muncul pada abad ke sembilan belas dan dua puluh dapat dimengerti sebagai respon dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika (Mc Quarrie, 1995: 65). Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.
Perspektif konflik dapat dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1864-1920), sampai George Simmel (1858-1918). Keempat pemikiran ini memberi kontribusi sangat besar terhadap perkembangan analisis konflik kontemporer. Satu pemikiran besar lainnya, yaitu Ibnu Khouldoun sesungguhnya juga berkontribusi terhadap teori konflik. Teori konflik Khouldun bahkan merupakan satu analisis komprehensive mengenai horisontal dan vertikal konflik.
Marx adalah satu tokoh yang pemikirannya mewarnai sangat jelas dalam perkembangan ilmu sosial. Pemikiran Marx berangkat dari filsafat dialektika Hegel. Hanya saja ia menggantikan dialektika ideal menjadi dialektika material, yang diambil dari filsafat Fuerbach, sehingga sejarah merupakan proses perubahan terus menerus secara material. Sebagaimana dijelaskan Cambell dalam Tujuh Teori Sosial (1994), bahwa Marx menciptakan tradisi materialisme historis yang menjelaskan proses dialektika sosial masyarakat, penghancuran dan penguasaan secara bergilir kekuatan-kekuatan ekonomis, dari masyarakat komunis primitif kepada feodalisme, berlanjut ke kapitalisme, dan terakhir adalah masyarakat komunis.
Berkaitan dengan konflik, Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke 19 di Eropa dimana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkhis, dan borjuis melakukan eksploitasi terhadap proletar dalam sistem produksi kapitalis. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis, false consiousness, dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan dan cita-cita akhirat. Dengan ini Marx mejadi orang yang tidak tertarik pada agama karena itu candu yang mengantar manusia pada halusinasi kosong dan menipu, untuk itulah komunisme selalu diintepretasikan dengan politik anti Tuhan (atheisme).
Ketegangan hubungan produksi dalam sistem produksi kapitalis antara kelas borjuis dan proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan hubungan produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi borjuis terhadap mereka. Sampai pada tahap ini Marx adalah seorang yang sangat yakin terhadap perubahan sosial radikal, tetapi lepas dari moral Marx, esensi akademiknya adalah realitas kekuasaan kelas terhadap kelas lain yang lemah, konflik antar kelas karena adanya eksploitasi itu, dan suatu perubahan sosial melalui perjuangan kelas, dialektika material, yang sarat konflik dan determinisme ekonomi. Pemikiran ini nantinya sangat berpengaruh dan berkembang sebagai aliran Marxis, neoMarxis, madzab Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik lainnya.
Max Weber tidak sepakat dengan konsepsi Marx tentang determinisme ekonomi, ia mengajukan konsepsi sosiologis yang bagi sebagian ilmuwan sosial dipandang lebih komprehensive. Weber menciptakan teori tindakan yang mengklasifikasi tindakan individu kedalam empat tipe. Zwecrational, wertrational, tindakan afektif, dan tindakan tradisional. Zwectrational berkaitan dengan means and ends, dimana tujuan-tujuan (ends) dicapai dengan menggunakan alat atau cara (means), perhitungan yang tepat, dan bersifat matematis. Wertrational adalah tindakan nilai dimana orientasi tindakan itu tidak berdasarkan pada alat atau caranya tetapi pada nilai, atau moralitas misalnya. Tindakan afektif individu didominasi oleh sisi emosional, dan tindakan tradisional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama. Ada sebagian yang menyebutkan Weber adalah seorang teoritikus micro anlysis karena ia berangkat dari tindakan individual.
Tetapi, seperti yang ditulis George Ritzer (1960), Weber memang memulai konsepsi sosiologisnya dari tindakan tetapi ia sendiri membuat suatu analisis luas tentang masyarakat. Berkebalikan dengan Marx bahwa kelas adalah determinisme ekonomi, Weber memberikan konsep sosiologis kelas yang lebih luas dan lebih dapat diterima secara teoritis.
Stratifikasi tidak hanya dibentuk oleh ekonomi melainkan juga prestige (status), dan power (kekuasaan/politik). Konflik muncul terutama dalam wilayah politik yang dalam kelompok sosial adalah kelompok-kelompok kekuasaan, seperti partai politik. Weber melihat persoalan wewenang dalam kerangka politik diperebutkan oleh partai-partai. Pengaruh pemikiran Weber ini akan banyak kita lihat dalam pemikiran Ralf Dahrendorf. Pemikiran Marx cenderung determinis dan Weber cenderung masuk ke subyektivisme, kemudian di Perancis pada kurun waktu yang sama Emile Durkheim memberikan perhatian di luar pemikiran Marx dan Weber, pada apa yang disebutnya sebagai social fact atau fakta sosial.
Fakta sosial bersifat exteriority, yang diluar atau eksternal, dan mendesakkan kehendaknya kedalam diri individu-individu. Individu bergerak atas dasar nilai sosial yang eksternal, di luar dirinya dan memaksa dalam bertindak. Hal ini adalah suatu aturan yang tidak tertulis, unwritten, dan merupakan pembahasan sosiologi ilmiah. Konsepsi sosiologis Durkheim dapat dipahami melalui pembuktiannya tentang suicide, yang secara umum ia membagi masyarakat kedalam masyarakat mekanik dan organik. Masyarakat mekanik mempunyai conscience collective, kesadaran umum, yang mendasari tindakan-tindakan yang bersifat kolektif. Kesadaran umum dapat juga sebagai moral bersama yang koersif pada setiap anggota-anggotanya. Suicide dalam masa ini berdasarkan kesadaran umum, Durkheim menyebutknya sebagai suicide altruism. Pokok pikiran Durkheim adalah fakta sosial, Giddens merinci dua makna yang saling berkaitan, dimana fakta-fakta sosial merupakan hal yang eksternal bagi individu.
Pertama-tama tiap orang dilahirkan dalam masyarakat yang terus berkembang dan yang telah mempunyai suatu organisasi atau strutur yang pasti serta yang mempengaruhi kepribadiannya. Kedua fakta-fakta sosial merupakan ‘hal yang berada di luar’ bagi seseorang dalam arti bahwa setiap individu manapun, hanyalah merupakan suatu unsur tunggal dari totalitas pola hubungan yang membentuk masyarakat (Giddens, 1986: 108). Baik Marx, Weber, dan Durkheim, sebenarnya menurut Giddens, mempunyai kepentingan terhadap kerangka teori yang mereka bangun terhadap realitas aktual masing-masing. Perkembangan ilmu sosial kemudian memperoleh kesempurnaannya setelah tradisi pemikiran Eropa melahirkan determinisme ekonomi atau pertentangan kelas dari Marx, teori teori tindakan dan stratifikasi sosial Weber, dan Fakta sosial dari Durkheim, di Jerman George Simmel memberikan pemikiran yang bercorak realis. Simmel adalah seorang ilmuwan murni, dalam arti tidak berpretensi membangun ideologi sebagaimana Marx, yang berfokus pada interaksi sosial, berusaha mengerti tentang struktur sosial.
Simmel konsern pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di dalam konteks sistematik yang hanya dapat ditipekan sebagai suatu percampuran organis dari proses asosiatif dan disasosiatif. Proses itu adalah satu refleksi dari impuls naluriah dari pelaku dan ketentuan yang memerintah oleh berbagai macam tipe hubungan sosial. Proses konflik adalah, oleh sebab itu, satu ciri dimana-mana dari sistem sosial, tetapi tidak memerlukan, dalam banyak kasus, petunjuk mengenai kerusakan sistem dan atau perubahan sosial.
Kenyataannya, konflik dalam satu proses prinsip pengoperasian pada pemeliharaan keseluruhan sosial dan atau beberapa sub bagiannya (Turner, 1985: 128), pemikiran ini akan banyak mempengaruhi Lewis Coser. Pada dasarnya, Turner mencatat, perbedaan antara Marx dan Simmel terletak pada bahwa hubungan sosial terjadi di dalam konteks sitematik yang hanya dapat ditipekan sebagai pecampuradukan organis dari proses asosiasi dan disasosiasi, konflik terjadi dimana-mana dalam sistem sosial, kenyataannya konflik adalah satu prinsip operasional memelihara keseluruhan sosial dan atau beberapa bagiannya.

Teori Konflik Struktural: Dielektika Konflik Ralf Dahrendorf

Keberadaan teori konflik muncul setelah fungsionalisme, namun, sesungguhnya teori konflik sebenarnya sama saja dengan suatu sikap kritis terhadap Marxisme ortodox. Seperti Ralp Dahrendorf, yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan, daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja, daripada modal dan buruh (Mc Quarie, 1995: 66).
Dahrendorf menolak utopia teori fungsionalisme yang lebih menekankan konsensus dalam sistem sosial secara berlebihan. Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dimana, istilah-istilah dari kriteria tidak khusus, mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan. Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.
Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan “authority”, dimana, beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lang lain (Turner, 1991: 144). Sehingga tatanan sosial menurut Dahrendorf , dipelihara oleh proses penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkordinasi yang ada hingga seluruh lapisan sistem sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang membuat kelompok-kelompok saling bersaing.
Resolusi dalam konflik antara kelompok-kelompok itu adalah redistribusi kekuasaan, atau wewenang, kemudian menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam sistem sosial. Selanjutnya sekelompok peran baru memegang kunci kekuasaaan dan wewenang dan yang lainnya dalam posisi di bawahnya yang diatur. Redistribusi kekuasaan dan wewenang merupakan pelembagaan dari kelompok peranan baru yang mengatur (ruling roles) versus peranan yang diatur (ruled roles), dimana dalam kondisi khusus kontes perebutan wewenang akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok kepentingan yang ada, dan dengan situasi kondisi yang bisa berbeda. Sehinga kenyataan sosial merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial.
Konflik sosial dalam teori ini berasal dari upaya merebut dan mempertahankan wewenang dan kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. Hanya dalam bentuk wewenang dan kekuasaan yang bagaimanakah konflik tersebut dapat digambarkan.

Analisis Konflik Lewis Coser

Pada sisi lain dalam pemikiran teori konflik, Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran positif, atau fungsi positif, dalam masyarakat. Pandangan teori Coser pada dasarnya usaha menjembatani teori fungsional dan teori konflik, hal itu terlihat dari fokus perhatiannya terhadap fungsi integratif konflik dalam sistem sosial. Coser sepakat pada fungsi konflik sosial dalam sistem sosial, lebih khususnya dalam hubungannya pada kelembagaan yang kaku, perkembangan teknis, dan produktivitas, dan kemudian konsern pada hubungan antara konflik dan perubahan sosial.
Coser memberikan perhatian terhadap asal muasal konflik sosial, sama seperti pendapat Simmel, bahwa ada keagresifan atau bermusuhan dalam diri orang, dan dia memperhatikan bahwa dalam hubungan intim dan tertutup, antara cinta dan rasa benci hadir. Sehingga masyarakat akan selalu mengalami situasi konflik Karena itu Coser membedakan dua tipe dasar koflik (Wallace&Wolf, 1986: 124), yang realistik dan non realistik. Coser sendiri banyak dipengaruhi oleh George Simmel. Simmel dan Coser adalah orang realis yang melihat konflik dan integrasi sebagai dua sisi saling memperkuat atau memperlemah satu sama lain.
Konflik realistik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material, seperti sengketa sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber sengketa itu, dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan segera diatasi dengan baik. Konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, konflik ini seperti konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya. Antara konflik yang pertama dan kedua, konflik yang non realistik lah cenderung sulit untuk menemukan solusi konflik atau sulitnya mencapai konsensus dan perdamaian. Bagi Coser sangat memungkinkan bahwa konflik melahirkan kedua tipe ini sekaligus dalam situasi konflik yang sama.

Teori Konflik Madzab Kritis

Tradisi kritis yang meyakini bahwa ilmuwan sosial mempunyai kewajiban moral mengajak dalam melakukan kritik masyarakat pada dasarnya melakukan usaha melpaskan hubungan dominatif penguasa terhadap masyarakat dalam struktur sosial. Karena itulah kepentingan teori sosial kritis adalah emansipasi yang membebaskan masyarakat dari kekejaman struktur sosial menindas yang dikuasi oleh kelompok kekuasaan. Mereka menolak memisahkan analisis dari pertimbangan atau fakta dari nilai. Kelompok ini diwakili oleh tradisi pemikiran Frankurt yang ditokohi Herbert Marcuse, Adorno, dan Jurgen Habermas (Jerman) serta Charles Wright Mills (Amerika) yang secara keseluruhan mereka banyak dipengaruhi oleh kerja-kerja intelektual Marx dan Max Weber dalam beberapa hal.
Suatu analisis sosiologis yangh kritis telah dilakukan dengan sangat jelas oleh Charles W. Mills dalam risetnya tentang struktur kekuasaan di Amerika (The Power Elite, 1956). Mills tidak sepakat terhadap dua hubungan konflik yang hanya terdiri dari dimensi ekonomi, dia lebih sepakat terhadap paparan Weber tentang terbaginya stratifikasi sosial kedalam tiga dimensi, ekonomi, prestis, dan politik. Mills sendiri melihat hubungan konflik, yang mengandaikan hubungan dominasi, sangat dipengaruhi oleh ekonomi dan politik.
Mills melakukan riset terhadap struktur kekuasan Amerika yang dari penelitian itu diperoleh suatu hubungan dominatif, dimana stukrur sosial dikuasi elit dan rakyat adalah pihak ada di bawah kontrol politisnya. Hubungan dominatif itu muncul karena elit-elit berusaha memperoleh dukungan politis rakyat demi kepentingan mobilitas vertikal mereka secara ekonomi dan politik. Elit-elit itu adalah militer, politisi, dan para pengusaha (ekonomi).Mills menemukan bahwa mereka, para elit kekuasaan, mempunyai kencederungan untuk kaya, baik diperoleh melalui investasi atau duduk dalam posisi eksekutif. Satu hal penting lagi, mereka yang termasuk dalam elit kekuasaan sering kali pindah dari satu bidang yang posisinya tinggi dalam bidang yang lain. Kasus Amerika, Mills memberi contoh Jenderal Eisenhower yang kemudian menjadi Presiden Eisenhower. Ada contoh lain yang diungkapkan Mills, seperti seorang laksmana yang juga seorang bankir, seorang direktur, dan menjadi pimpinan perusahaan ekonomi terkemuka.
Elit-elit kekuasaan mempunyai keinginan besar terhadap perkembangan diri mereka dan tentu saja secara politis mereka membutuhkan dukungan dari rakyat. Media massa yang mempunyai posisi dan peran strategis dalam menyampaikan isu-isu nasional merupakan alat bagi elit kekuasaan untuk meraih dukungan itu, yaitu melalui proses komunikasi informasi satu arah bukan dialog. Proses itu merupakan bagian dari indoktrinisasi dan persuasi elit-elit kekuasaan. Masyarakat hanya bersifat pasif sebagai penadah informasi-informasi elit kekuasan. Satu hal penting lainnya, rakyat tidak cukup mengetahui realitas atau kebenaran sehingga begitu mudah menjadi salah satu pendukung dari isu atau informasi yang disebarkan elit melalui media massa. Mills menyebut mereka sebagai masyarakat massa (mass society). Masyarakat massa seperti kerbau yang dicocok hidungnya karena tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran yang sejati tentang isi dari informasi atau isu-isu para elit.
Kita bisa menyaksikan di Indonesia elit-elit kekuasaan yang disebutkan Mills dari golongan politisi, militer, dan pengusaha ekonomi mempunyai karakter dan gerakan yang serupa. Elit-elit kekuasaan di Indonesia menciptakan hubungan dominatif antara mereka dan rakyat. Mereka juga bergerak mencapai posisi yang tinggi ke posisi (lebih) tinggi lainnya. Pada pemilihan presiden tahun 2004 ini dapat ditemukan dua orang elit dari militer berusaha mencapai posisi yang lebih tinggi dari yang sebelumnya, yaitu presiden atau wakil presiden. Ada dua orang calon wakil presiden yang sebelumnya merupakan elit pengusaha dan pejabat pemerintahan. Ada juga yang dulunya hanya aktifis politik dan bersuami pengusaha bahkan telah menjadi presiden. Tampaknya jelas sekali bahwa para elit kekuasaan pada saat ini tengah melakukan pergerakan mendapatkan posisi yang lebih tinggi dari sebelumnya untuk mobilitas vertikal secara ekonomi maupun politik.
Analisis kritis Mills sesungguhnya tidak langsung disebutkan sebagai bangunan teori konflik. Tetapi ciri-ciri penting dalam analisisnya menunjukkan hubungan dominatif dalam stukrur sosial antara kelompok-kelompok elit yang berusaha menambah kekayaannya dengan masyarakat. Sampai di sini, secara singkat, dapat ditemukan bahwa teori Mills tentang elit adalah pembuktian terhadap teorinya sebagai bagian dari teori konflik beraliran kritis.
Aliran konflik sendiri kemudian menjadi terbagi sebagai dua kubu pemikiran, antara madzab kritis Frankurt, termasuk Charles W. Mills dari Amerika, dan madzab sosiologi analitis Amerika, seperti Ralp Dahrendorf dan Lewis Coser, yang pada dasarnya adalah kelanjutan dari perdebatan antara Marx dan Weber (Wallace & Wolf, 1986: 63).
Tradisi pertama adalah kelompok yang meyakini bahwa ilmuwan sosial mempunyai kewajiban moral mengajak dalam melakukan kritik masyarakat. Kepentingan teori sosial adalah emansipasi yang membebaskan masyarakat dari kekejaman struktur sosial menindas. Mereka menolak memisahkan analisis dari pertimbangan atau fakta dari nilai. Kelompok ini diwakili oleh tradisi pemikiran Frankurt yang ditokohi Herbert Marcuse, Adorno, dan Jurgen Habermas (Jerman) serta Charles Wright Mills (Amerika) yang secara keseluruhan mereka banyak dipengaruhi oleh kerja-kerja intelektual Marx dan Max Weber dalam beberapa hal.
Kelompok kedua, sebaliknya, mempertimbangkan konflik menjadi tak terhindarkan dan aspek permanen kehidupan sosial; dan mereka juga menolak ide bahwa kesimpulan ilmuwan sosial sarat nilai. Sebaliknya, pendukungnya tertarik dalam pendirian ilmu sosial dengan ukuran sama obyektivitas sebagaimana ilmu alam. Kelompok kedua ini masih dipengaruhi oleh Marx namun lebih banyak melanjutkan pemikiran Max Weber, mereka seperti Lewis Coser yang dipengaruhi pemikiran realis George Simmel (1956, 1967) dengan fungsi-fungsi konfliknya, Ralf Dahrendorf yang banyak terpengaruh oleh Max Weber dan Marx dala sisi tertentu (1958/1959) dengan konflik dialektis yang ia kembangkan.
Pada dasarnya walaupun analisis konflik terbagi menjadi dua tradisi pemikiran orientasi mereka dihubungkan oleh tiga asumsi umum yang menghubungkannya (Wallace & Wolf, 1986: 62-63), pertama bahwa setiap orang mempunyai angka dasar kepentingan, mereka ingin dan mencoba mendapatkannya, dimana masyarakat selalu terlibat dalam situasi yang diciptakan oleh keinginan-keinginan dari setiap orang dalam meraih kepentingannya.
Kedua, dan pusat pada perspektif teori konflik secara keseluruhan, adalah satu pemusatan perhatian pada kekuasaan sebagai inti hubungan sosial. Teori konflik selalu melihat kekuasaan tidak hanya sebagai kelangkaan dan pembagian tak merata, dan oleh sebab itu satu sumber konflik, dan juga sebagai paksaan penting. Ketiga aspek khusus teori konflik adalah bahwa nilai dan ide-ide dilihat sebagai senjata yang digunakan oleh kelompok-kelompok berbeda mempermudah tujuan mereka, daripada sebagai cara-cara pendefinisian satu identitas masyarakat keseluruhan dan tujuannya. Sesungguhnya analisis konflik didominasi oleh dua aliran besar, positivisme atau empiris analitis dan tradisi ilmu sosial kritis. Artinya, analisis konflik dapat kita pilahkan teori konflik positivistis dan teori konflik kritis (http://sansigner.wordpress.com/2008/05/24/teori-konflik-struktural-dan-kritis/).

D.  Teori Konflik dan Contoh Realitas dalam Konteks Indonesia Timur

Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik. Teori ini lebih merupakan sejenis fungsionalisme struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya (Ritzer dan Goodman, 2007). Menurut Dahrendorf (1958, 1959), setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, dengan mendasarkan pada pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Dalam pandangan teoritisi konflik, bahwa apapun keteraturan yang terdapat dalam masayarkat bberasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atas. Menurut Dahrendorf (1959, 1968), bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsesnsus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian, yaitu teori konflik dan teori konsesnsus. Dahrendorf, lebih lanjut menyatakan, bahwa sistem sosial dipersatukan olehn kerja sama sukarela atau oleh konsensus bersama atau oleh kedua-duanya. Tetapi, menurut teoritisi konflik (teoritisi koersi) masyarakat disatukan oleh “ketidakbebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masayrakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Menurut Dahrendorf, bahwa perbedaan distribusi otoritas “selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis” (Ritzer dan Goodman, 2007).

Teori Dahrendorf (Ian Craib, 1986:94-95) adalah suatu yang dalam tingkat rendah terbagi dalam dua bagian, yaitu :
a.         Suatu proposisi teoritis pokok, bahwa struktur-struktur peran melahirkan pertentangan dan juga kepentingan-kepentingan yang bersifat komplementer.
b.        Deskripsi-deskripsi umum tentang kondisi-kondisi yang mengakibatkan konflik-konflik.

Berdasarkan uraian di atas tentang teori konflik yang diangkat dari pemikiran Dahrendorf, maka dapat dikemukakan salah satu contoh kasus dalam konteks Indonesia Timur untuk menggambarkan teori konflik. Contoh kasus yang dapat dikemukakan di sini adalah tentang konflik Ambon, antara kaum Muslim dan kaum nonmuslim (Kristen).
Konflik antara kaum Muslim dan Kristen di Ambon itu disebabkan adanya faktor warisan kolonial dan berangsungnya perubahan sosial di lokasi tersebut. Beberapa fakta yang menunjukkan sebagai berikut:
·       Segregasi antara Muslim dan Kristen. Kalau kelompok muslim tinggal di wilayah Leihitu, kelompok Kristen tinggal di wilayah Leitimor.
·       Sistem negeri dan nama keluarga. Di Ambon, nama keluarga bisa sekaligus menunjukkan asal negerinya. Lebih dari itu, asal-usul negeri juga bisa mengindentifikasi agama apa yang dianutnya.
·       Perbedaan posisi pastor dan imam. Meskipun raja merupakan pemimpin lokal, tapi dalam masyarakat Kristen Ambon posisi pastor lebih kuat daripada raja. Sebaliknya, dalam masyarakat Muslim, seorang raja sekaligus merupakan seorang imam.
·       Perubahan sosial di Ambon antara lain terjadi akibat mulai makin meningkatnya jumlah imigran Muslim di kota tersebut sejak tahun 1970an.
Kalau pada masa sebelum konflik warga Muslim dan Kristen bisa hidup rukun bersama, ketegangan di antara dua kelompok tersebut mulai muncul ke permukaan sejak tahun 1980an, ketika identitas keagamaan mulai menguat. Rivalitas Muslim dan Kristen tidak bisa dielakkan akibat perubahan sosial semacam ini. Kondisi ini terus memburuk ketika pada masing-masing kelompok tersebut berkembang sejenis psikologi massa yang menempatkan kelompok lain sebagai musuh. Pada kelompok Kristen berkembang pemaknaan diri bahwa mereka merupakan korban, tapi di sisi lain juga mereka merasa bangga dan mengklaim sebagai komunitas Kristen pertama di Indonesia sambil sekaligus merasa terancam oleh proses Islamisasi di Indonesia. Sebaliknya, pada kelompok Muslim juga berkembang sikap psikologis yang menempatkan kelompoknya sebagai korban, melihat kondisi di Ambon sebagai ketidakadilan bagi mereka, dan merasa terancam oleh proses Kristenisasi di Maluku. Pada yang sama mereka juga mengembangkan sikap bangganya sebagai komunitas Muslim yang memiliki peran sejarah melawan gerakan separatis Republik Maluku Selatan. Mekanisme psikologis ini disebut Akiko sebagai "framing", atau sebut saja proses identifikasi diri melalui proses penemuan "other".
Pada level yang lain, demarkasi simbolik tampak jelas dalam atribut-atribut yang dipakai oleh dua komunitas ini: kelompok Kristen mengenakan ikat kepala merah, sedangkan kelompok Islam memilih ikat kepala warna putih; di wilayah Kristen banyak dipasang gambar-gambar Yesus dan salib berukuran besar, sedangkan di wilayah Muslim banyak dipakai kata-kata berbahasa Arab dan penggunaan busana yang dianggap mencerminkan identitas Islam (http://www.interseksi.org/news/files/Laporan_ Diskusi_tentang_Konflik_Ambon. php).


DAFTAR BACAAN :

Buku :

Craib, Ian. 1986. Teori-Teori Sosial Modern: dari Parsons sampai Habermas. Edisi 1, Cet. 1. Jakarta: Rajawali.

Johnson, D. Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 1. Jakarta: PT. Gramedia.

Johnson, D. Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 2. Jakarta: PT. Gramedia.

Ritzer, Geoge dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Cet. Ke-4. Jakarta: Kencana.


Internet :





Tidak ada komentar:

Posting Komentar