Entri Populer

Kamis, 06 Januari 2011

PERSETERUAN KPK Vs. POLRI

PERSETERUAN KPK Vs. POLRI:
Siapa yang diuntungkan?
Oleh : Nurdin Taher


A.   Prolog
Pada beberapa waktu yang lalu kita disuguhi berita-berita mengenai perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI (POLRI). Hampir setiap menit berita mengenai perseteruan KPK dan POLRI ini mengisi ruang pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik.
Perseteraun itu menjadi “ramai” karena banyak pihak, baik berkepentingan atau tidak, berkompeten atau tidak mengenai masalah yang sedang diperseterukan, ikut memberikan komentar. Mulai dari LSM, mahasiswa, pejabat dan mantan pejabat, pengamat, ahli hukum, pengacara atau penasehat hukum (lawyer), dan lain-lain seakan tidak mau ketinggalan memberikan “bumbu” terhadap persoalan yang tengah terjadi antara KPK dan POLRI. Sehingga ujung pangkal dari persoalan ini menjadi kabur (krusial). Pertanyaan kemudian muncul adalah apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini? Untuk itu, kita mencoba mengurai persoalan ini dengan melihat fakta yang sesungguhnya dan seobyektif mungkin menganalisis dengan menghindari vested interest.

B.   Something Happened
Dari berita-berita yang dilansir media massa, diketahui bahwa terjadi perseteruan atau pertikaian antara KPK dan Polri. Perseteruan atau pertikaian ini muncul berawal dari :
1.    Pengusutan kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) yang melibatkan anggota DPR Yusuf Emir Faisal (periode 2004 s.d. 2009) sebagai tersangka yang diduga menerima uang suap dari PT. Masaro milik Anggoro Wijoyo (AW). Dalam proses tersebut kemudian KPK mengeluarkan surat pencekalan untuk mencekal AW agar tidak bepergian keluar negeri.
2.    Ketika proses pengusutan korupsi pengadaan SKRT yang melibatkan anggota DPR dan pemilik PT. Masaro, muncul kasus pembunuhan Direktur Paribas Nasruddin Zulkarnaen (NZ) yang melibatkan Ketua KPK (waktu itu) Antasari Azhar (AA)
3.    Dalam pemeriksaan terhadap AA sebagai tersangka pembunuhan NZ muncul testimoni dari AA yang menyebutkan telah terjadi pemerasan yang diduga dilakukan oleh pimpinan KPK, dalam hal ini Bibit S. Rianto (BSR) dan Chandra Hamzah (CH) terhadap pemilik PT. Masaro AW.
4.    Atas testimoni AA tersebut Polri kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap BSR dan CH. Setelah melakukan pemeriksaan dan menurut Polri telah memiliki bukti yang cukup, maka kemudian BSR dan CH ditetapkan sebagai tersangka.
5.    Atas penetapan status tersangka terhadap BSR dan CH, dan atas nama aturan perundang-undangan, yang menyatakan bahwa apabila pimpinan KPK terlibat dalam suatu tindak pidana dan sudah berstatus tersangka, maka mereka harus dinonaktifkan. Berdasarkan alasan tersebut, maka Presiden menonaktifkan BSR dan CH, dan sebelumnya telah menonaktifkan AA karena juga berstatus tersangka atas tuduhan terlibat pembunuhan NZ, dan kemudian menunjuk pimpinan KPK sementara untuk mengganti pimpinan KPK yang telah dinonaktifkan.
6.    Karena merasa “dizdalimi”, BSR dan CH kemudian melakukan uji materi Undang-Undang KPK, khususnya pasal mengenai pimpinan KPK ke Komisi Konstitusi (MK). Setelah melakukan persidangan, MK kemudian memtuskan menerima beberapa permohonan yang diajukan BSR dan CH. Dalam persidangan, MK juga memutar rekaman yang diduga upaya “rekayasa” untuk melemahkan KPK dengan melibatkan pengusaha Anggodo Wijoyo adik AW dan beberapa mantan pejabat maupun pejabat yang masih aktif, termasuk Wakil Jaksa Agung dan Kabareskrim Polri.
7.    Dalam perkembangannya, setelah selesai mengikuti sidang pembacaan putusan permohonan uji materi UU KPK di MK, BSR dan CH kemudian ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara oleh Polri.
8.    Penahanan BSR dan CH ini kemudian memancing reaksi negatif dari semua elemenen masyarakat, sehingga menimbulkan suasana nasional menjadi tidak kondusif. Berbagai reaksi dukungan terhadap pimpinan KPK bermunculan, tidak hanya melalui dunia nyata tetapi juga melalui dunia maya.
9.    Melihat kondisi demikian, atas “desakan” publik, Presiden kemudian membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) atau lebih dikenal dengan Tim 8 untuk mencari dan menverifikasi fakta kepada semua pihak yang terkait.

C.   What Happned
Berdasarkan uraian pada point B di atas, maka menurut pendapat saya, bahwa perseteruan antara KPK dan Polri itu terjadi :
1.    Karena persaingan atau kompetisi antarlembaga penegak hukum, khususnya KPK, Polri, dan Kejaksaan menyangkut kewenangan pemberantasan korupsi.
2.    Karena tidak ada “batasan” yang tegas antara lembaga penegak hukum, khususnya KPK, Polri, dan Kejaksaan menyangkut kewenangan pemberantasan korupsi.
3.    Karena koordinasi dan sinergitas antara lembaga penegak hukum, khusunya KPK, Polri, dan Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi masih sangat lemah.
4.    Karena persaingan antara lembaga penegak hukum, khususnya KPK, Polri, dan Kejaksaan, tidak akan berlarut-larut bila seandainya Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara bersikap lebih tegas untuk menengahi perseteruan tersebut.

D.   So What
Berdasarkan uarian-uaraian di atas (point B dan C) maka dapat disimpulkan, sebagai berikut:
1.     Bahwa perseteruan antara KPK dan Polri dilatarbelakangi oleh Kasus Bank Century yang diduga melibatkan petinggi-petinggi pemerintahan (pimpinan) nasional di negara ini.
2.     Bahwa pemeriksaan dan penetapan status tersangka terhadap BSR dan CH, selain semata-mata karena masalah hukum, tetapi juga bernuansa politis.
3.     Bahwa perseteruan antara KPK dan Polri ini berkaitan dengan “perebutan” kewenangan dalam hal penegakan hukum (law inforcement).
4.     Sebagai Kepala Pemerintahan dan juga Kepala Negara, dengan pertimbangan demi kepentingan nasional, Presiden dapat saja mengambil alih perseteruan antara KPK vs. Polri, dan juga Kejaksaan dan menghentikan kasus tersebut secara politis.

E.   Now What
Berdasarkan kesimpulan pada point D di atas, maka hal yang dapat direkomendasikan untuk dilakukan ke depan adalah :
1.    Perlu melakukan revisi atau amandemen UU tentang lembaga penagak hukum, khususnya KPK, Polri, dan Kejaksaan untuk mengatur dan menata ulang kewenangan masing-masing lembaga penegak hukum, sehingga tidak lagi terjadi “persaingan” yang tidak sehat dan “perebutan” kewenangan antarlembaga penegak hukum di negara ini.
2.    Perlu meningkatkan koordinasi antarlembaga penegak hukum dalam memberantas korupsi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih (clean goverment) dan akuntabel.
3.    Penegakkan hukum tidak hanya semata-mata mengenai bukti dan fakta hukum, tetapi perlu dan harus menjadi concer para penegak hukum adalah rasa keadilan masyarakat.

F.    Epilog
Menyaksikan perseteruan antara KPK dan Polri ibarat kita menonton “sinetron”. Ada banyak hal yang masuk akal (rasional) dan tidak masuk akal (arasional) dari peristiwa ini, tetapi kita tetap saja merasa antusias untuk mengikuti alur ceritanya sampai akhir. Dari cerita “sinetron” KPK vs. Polri, kita seperti tersentak menyadari bahwa ternyata masih banyak “bopeng” di wajah penegakan hukum di negara ini. Mafia peradilan dan mentalitas korup demikian sudah mengakar di benak anak bangsa ini. Rasa keadilan masyarakat seakan-akan menjadi urusan nomor ke sekian bila sudah menyangkut fulus, kecuali bagi orang-orang yang masih mempunyai nurani.
Dari cerita “sinetron” KPK vs. Polri yang berlarut-larut ini, yang paling diuntungkan adalah para koruptor dan atau kaum oportunis, yang siap menerkam dari belakang, menjegal kawan seiring, dan menggunting dalam lipatan. Duh, kasihan negeriku!
Sampai kapankah negeri ini, yang konon kabarnya, kaya raya dengan kekayaan alamnya dapat memberikan kemakmuran untuk semua anak bangsanya?

SUMBER RUJUKAN :
Dari semua sumber berita media massa, baik media cetak maupun elektronik.

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar