Entri Populer

Kamis, 06 Januari 2011

PENEGAKKAN HUKUM DAN KEADILAN DI INDONESIA

PENEGAKKAN HUKUM DAN KEADILAN DI INDONESIA:
Berdiri di Antara Dua Sisi?
Oleh : Nurdin Taher**)
Prolog

Tulisan ini awalnya merupakan salah satu tugas perkuliahan dalam Mata Kuliah Filsafat Ilmu. Oleh Dosen pengasuh Mata Kuliah pada setiap akhir pertemuan memberikan tugas untuk menulis refleksi terhadap persoalan-persoalan sosial aktual  mengenai kehidupan kebangsaan yang sedang terjadi dengan topik bebas. Maka catatan dalam tulisan ini merupakan refleksi pribadi dan pengamatan penulis terhadap kondisi sosial, terutama menyangkut penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia.
Dalam satu sampai tiga bulan terakhir, dan mungkin entah kapan, kita masih tetap disuguhi berita-berita mengenai Kasus Pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen yang melibatkan Ketua KPK saat itu, Antasari Azhar, perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI (POLRI), Mafia Peradilan dan Makelar Kasus (Markus), serta Skandal Bank Century (Centurygate). Khusus untuk kasus KPK vs POLRI, Presiden merasa perlu membentuk suatu Tim Pencari Fakta (TPF) yang kemudian lebih dikenal dengan Tim 8, dan kasus Centurygate, DPR juga membentuk Panitia Khusus (Pansus) Bank Century dan telah bekerja untuk melakukan penyelidikan pengucuran dana talangan tersebut.  Dan hari-hari ini hampir setiap menit berita-berita mengenai kasus-kasus tersebut mengisi ruang pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik.
Perdebatan mengenai kasus-kasus tersebut menjadi “ramai” karena banyak pihak, baik berkepentingan atau tidak, berkompeten atau tidak mengenai masalah yang sedang terjadi, ikut memberikan komentar. Mulai dari LSM, mahasiswa, pejabat dan mantan pejabat, pengamat, ahli hukum, pengacara atau penasehat hukum (lawyer), dan lain-lain seakan tidak mau ketinggalan memberikan “bumbu” terhadap persoalan yang tengah terjadi. Sehingga ujung pangkal dari persoalan ini menjadi kabur (krusial). Pertanyaan kemudian muncul adalah apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini?

Peneggakkan Hukum dan Keadilan: Antara Ketentuan Formal dan Rasa Keadilan Masyarakat

Suhu politik nasional hari-hari ini lamban-laun semakin adem, walaupun di sana sini masih ada riak-riak yang mengganggu, seiring presiden SBY menyampaikan pidato tentang kasus KPK vs. Polri pada Senin malam, 23 November 2009 lalu. Dengan pidato yang disampaikan tersebut SBY ingin membuktikan komitmennya untuk terus menjaga proses penegakkan hukum di Indonesia tetap berjalan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Terjadi pro dan kontra di masyarakat menanggagpi isi pidato SBY sehubungan dengan kasus KPK vs. Polri, dan kasus Bank Century (Centurygate). Yang pro beranggapan bahwa pidato SBY sudah tegas dan sesuai dengan rekomendasi Tim 8, sementara di pihak kontra berpendapat isi pidato SBY penuh retorika, masih mengambang, remang-remang, abu-abu, sehingga menimbulkan multitafsir. Presiden SBY dianggap bersikap tidak tegas, tidak berani mengambil keputusan, meminjam istilah sepakbola, tidak bisa “mengeksekusi” bola yang disiapkan atau “diasist” oleh Tim 8 ke gawang yang sudah kosong melompong. Presiden SBY malah masih menggocek bola tersebut kemudian mengoperkan kepada pihak lain. Sehingga publik masih harus bisa bersabar menunggu ending dari kasus yang sudah menyita perhatian publik dan energi beberapa bulan terakhir ini setidaknya untuk beberapa minggu ke depan.
Dalam beberapa kali kesempatan presiden SBY selalu menegaskan untuk tidak mau mengambil kebijakan yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan (konstitusi) yang berlaku sehubungan dengan polemik KPK vs. Polri. Hal ini menyiratkan maksud presiden bahwa dalam menegakkan hukum dan rasa keadilan tidak harus dengan menabrak rambu-rambu yang sudah dibuat dan disepakati, dan pada saat yang bersamaan mempertimbangkan pula  dan tidak mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
Ini berarti bahwa dalam menegakkan hukum kita harus benar-benar mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun dalam implementasinya ada “permasalahan”, maka hal itu harus dilihat dari kaca mata atau aspek hukum. Atau dengan kata lain, penegakkan hukum harus berdasarkan teks-teks aturan yang berlaku secara ansich.
Konsekuensi dari diktum ini adalah bahwa penerapan aturan perundang-undangan terhadap suatu tindakan pidana atau perdata, harus dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten dan tidak menggunakan prinsip belah bambu. Satu diinjak, yang lainnya diangkat. Harus benar-benar dilaksanakan secara fair dan bertanggung jawab. Tidak berlaku sikap diskriminatif. Siapa pun pelaku tindak pidana harus ditindak dan dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku melalui proses peradilan yang fair, transparan, dan akuntabel. Sebab, dalam setiap putusan pengadilan (baca: hakim), selalu didahului dengan kalimat, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jangan sampai terjadi kasus seperti yang menimpa Bu Mina, yang menurut Menkumham Patrialis Akbar, merupakan ironi bagi penegakkan hukum di Indonesia. Sementara di pihak lain, ada oknum-oknum, baik itu pejabat maupun pengusaha yang sudah terang benderang terlibat dalam suatu tindak pidana diperlakukan secara “istimewa” hanya karena status sosial yang bersangkutan. Bermacam-macam alasan dimunculkan sebagai argumentasi untuk mengkounter harapan publik, agar oknum-oknum tersebut segera ditetapkan sebagai tersangka. Namun harapan itu, tinggal harapan. Sementara orang seperti Bu Minah harus rela menjalani semua rangkaian proses peradilan sampai duduk di kursi pesakitan di pengadilan, dan diputuskan bersalah, hanya karena tiga buah kakao.
Dengan pernyataan ini, bukan berarti kita ingin menjustifikasi perbuatan Bu Minah, melainkan diajukan sebagai cermin, agar kita bisa “meneropong” wajah kita secara saksama, apakah di sana masih belepotan bopeng atau tidak. Dan ternyata, pada “wajah” penegakkan hukum kita, masih terdapat kekurangan dan kelemahan di sana sini, apakah kelemahan itu berkaitan dengan aturan perundang-undangan, oknum-oknum penegak hukum, maupun berkaitan dengan aspek rasa keadilan masyarakat.
Sejatinya dalam menegakkan hukum harus berjalan secara simultan, antara menegakkan aturan perundang-undangan ansich dan juga rasa keadilan masyarakat terpenuhi. Jika hal ini sudah bisa diaplikasikan maka harapan akan kehidupan sosial yang harmonis akan menjadi sesuatu yang niscaya.

Epilog

Mengamati proses penegakkan hukum di Indonesia ibarat kita sedang menonton pertandingan sepak bola. Dalam pertandingan sepak bola tidak semata ditentukan hasil akhir, melainkan mengamati seluruh aspek perilaku, baik itu pemain, penonton, maupun wasit (termasuk hakim garis). Wasit sebagai pemimpin pertandingan harus bersikap adil (dalam arti juga arif) untuk memimpin jalannya pertandingan, menjalankan semua ketentuan (aturan) permainan, dan juga situasi psikologis pemain dan penonton. Pemain yang terlibat dalam pertandingan harus bersikap sportif, tidak bermain curang, dan lain-lain. Begitu pula penonton di samping mengikuti jalannya pertandingan sampai tuntas secara tertib, juga harus bisa memahami kondisi psikologis wasit dalam mengambil keputusan. Tidak hanya bisa menilai aspek-aspek negatif dari kepemimpinan wasit, tetapi harus bisa memotret secara komprehensif semua perilaku yang termanifestasi di lapangan.
Kondisi yang sama juga seharusnya diadaptasi dalam mengamati sebuah proses peradilan. Semua pihak diharapkan untuk bersikap bijaksana dan arif menyikapi suatu proses peradilan, tanpa bertendensi untuk menilai pihak lain melakukan kecurangan. Yang penting di sini adalah kita semua sebagai warga bangsa terlibat secara aktif untuk terus menerus memantau gerak penegakkan hukum di Indonesia, agar tetap berjalan pada koridor hukum dengan tidak mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
Penegakkan hukum tidak semata-mata menegakkan aturan perundang-undangan, melainkan juga harus bisa menggali nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan sosial dan rasa keadilan masyarakat.
Menyaksikan pemberitaan mengenai penegakkan hukum di Indonesia, ibarat kita menonton “sinetron”. Ada banyak hal yang masuk akal (rasional) dan tidak masuk akal (arasional) dari peristiwa ini, tetapi kita tetap saja merasa antusias untuk mengikuti alur ceritanya sampai akhir. Dari cerita “sinetron” penegakkan hukum di Indonesia, kita seperti tersentak menyadari bahwa ternyata masih banyak “bopeng” di wajah penegakan hukum di negara ini. Mafia peradilan dan mentalitas korup demikian sudah mengakar di benak anak bangsa ini. Rasa keadilan masyarakat seakan-akan menjadi urusan nomor ke sekian bila sudah menyangkut fulus, kecuali bagi orang-orang yang masih mempunyai nurani.
Dari cerita “sinetron” Penegakkan Hukum di Indonesia yang tidak tegas ini, yang paling diuntungkan adalah para koruptor dan atau kaum oportunis, yang siap menerkam dari belakang, menjegal kawan seiring, dan menggunting dalam lipatan.
Duh, kasihan negeriku! Sampai kapankah negeri ini, yang konon kabarnya, kaya raya dengan kekayaan alamnya dapat memberikan kemakmuran untuk semua anak bangsanya?

 





* ) Penulis adalah Staf pada Bagian Umum LPMP Provinsi Sulawesi Selatan, dan sedang menyelesaikan pendidikan pada PPs Universitas Hasanuddin Program Studi Sosiologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar