Entri Populer

Kamis, 06 Januari 2011

MENYUSURI “LORONG GELAP” FILSAFAT ILMU

MENYUSURI “LORONG GELAP” FILSAFAT ILMU
(Refeleksi Mengikuti Perkuliahan Filsafat Ilmu)
Oleh : Nurdin Taher


A.    Prolog

Topik di atas menggambarkan kondisi sesungguhnya yang penulis rasakan ketika mempelajari Mata Kuliah Filsafat Ilmu di PPs Universitas Hasanuddin. Meskipun penulis pernah mempelajari ketika kuliah pada program strata satu (sarjana), akan tetapi penulis masih merasa “buta” tentang Filsafat Ilmu. Bagi penulis yang terlintas di dalam benak adalah bahwa Filsafat Ilmu itu mempelajari tentang apa (what), bagaimana (how), dan mengapa atau untuk apa (why).

Dengan pengetahuan yang sekedarnya itu, maka penulis seperti meraba-meraba menyusuri “lorong gelap” Filsafat Ilmu. Dalam benak penulis bertanya-tanya, seperti apa “lorong gelap” itu? Apa yang perlu kami siapkan sebagai “bekal” untuk menyusuri lorong tersebut? Sarana apa yang perlu kami gunakan supaya dapat berhasil menyusuri lorong tersebut? Apakah perlu kami menggunakan “pemandu” (guide) untuk mengarahkan kami agar tidak “tersesat” menyusuri lorong tersebut?

B.    Nuansa Akademis Mempelajari Filsafat Ilmu

Mata Kuliah Filsafat Ilmu (MKFI) ini diasuh oleh Dr. Arlina G. Latier, M. S. dan Dr. Suryo Ediyono, M. Hum. Pada paruh pertama perkuliahan MKFI diasuh oleh Dr. Suryo Ediyono, M. Hum., dan kemudian dilanjutkan pada paruh kedua oleh Dr. Arlina G. Latier, M. S. Pada kedua paruh perkuliahan MKFI ini penulis mendapat nuansa dan kesan yang berbeda.

Pada paruh pertama perkuliahan MKFI, mahasiswa khususnya penulis secara pribadi merasa perkuliahan berjalan seperti biasa, tidak ada dinamika dan tantangan yang berarti. Penulis merasa perkuliahan MKFI sebagaimana perkuliahan lainnya adalah kegiatan rutinitas biasa yang harus dijalani, tidak ada riak-riak yang memungkinkan memberi stimuli kepada mahasiswa supaya mempelajari secara serius dan mendalami MKFI ini.  Kesan ini bukan menggambarkan atau mencerminkan bahwa pengasuh MKFI pada paruh pertama ini kurang memberi warna dalam proses perkuliahan. Tetapi, mungkin bagi penulis lebih pada proses perkuliahan yang berlangsung terlalu datar dan kurang membuka ruang bagi mahasiswa untuk mengekploitasi dan mengeksplorasi kreativitas dan semua kemampuannya untuk mempelajari MKFI ini secara komprehemsif. Sehingga penulis merasa seperti “tidak mendapatkan” apa-apa setelah mengikuti perkuliahan MKFI pada paruh pertama tersebut. Meskipun demikian, penulis harus tetap memberi appresiasi terhadap pengasuh MKFI pada paruh pertama ini, karena telah membuka jalan dan memberi wawasan tentang betapa pentingnya mempelajari Filsafat Ilmu. Juga telah memberikan dasar-dasar pengetahuan tentang Filsafat Ilmu sebagai landasan untuk mempelajari Filsafat Ilmu lebih lanjut, khususnya pada paruh kedua perkuliahan. Dan untuk mengevaluasi sejauhmana pemahaman mahasiswa terhadap MKFI yang telah disajikan pada paruh pertama perkuliahan, maka pada akhir perkuliahan MKFI mahasiswa ditugaskan untuk menyusun paper (proposal) dengan tema yang berkaitan dengan rencana judul atau topik penelitian yang akan dilakukan untuk penulisan tesis.

Kesan yang berbeda penulis rasakan ketika memasuki paruh kedua perkuliahan MKFI yang diasuh oleh Ibu Dr. Arlina G. Latier, M. S. Walaupun pada awalnya penulis dan juga teman-teman mahasiswa yang lain merasa agak “grogi”, --mengingat sebelumnya penulis dan teman-teman mahasiswa lain mendapat informasi yang bias dan sedikit “menyeramkan” dari informasi-informasi yang bersileweran--, menghadapi pengasuh MKFI pada paruh kedua ini. Tapi, seiring dengan bergulirnya waktu kesan awal yang kurang berdasar itu, lambat laun menjadi  pupus dan sirna. Malah sebaliknya, lambat tapi pasti kesan awal yang kurang memberi motivasi yang positif itu berganti menjadi appresiasi positif terhadap pendekatan dan metode perkuliahan yang digunakan. Hampir semua teman-teman mahasiswa, khususnya penulis merasa proses perkuliahan MKFI pada paruh kedua ini berlangsung sangat dinamis dan “menggairahkan”.  

Perkuliahan Filsafat Ilmu pada paruh kedua berlangsung diawali dengan perkenalan dan mereview pemahaman setiap mahasiswa terhadap MKFI yang telah dipelajari sebelumnya. Masing-masing mahasiswa, termasuk penulis dipersilahkan oleh dosen pengasuh untuk mengemukakan pemahamannya tentang Filsafat Ilmu. Penulis pada kesempatan itu mengemukakan bahwa Filsafat Ilmu itu mempelajari dan mencari tahu tentang hakekat sesuatu dan memanfaatkannya untuk kepentingan bersosialisasi dan berinteraksi dengan teman-teman agar dapat tercipta harmonisasi dan keseimbangan personal dan kolektif. Sementara bagi teman-teman mahasiswa yang lain mengemukakan pemahamannya tentang Filsafat Ilmu dengan melihat dari sudut pandang yang lain. Singkatnya, dari hasil review tersebut terlihat dengan jelas bahwa terdapat pemahaman yang beragam tentang Filsafat Ilmu oleh mahasiswa tergantung dari sudut pandang dan pendekatan yang digunakan masing-masing.

Dari hasil review tersebut kemudian dosen pengasuh MKFI mencoba memetakan berdasarkan pemahaman masing-masing tentang Filsafat Ilmu. Di akhir pertemuan pertama perkuliahan setiap mahasiswa ditugaskan untuk mengangkat suatu permasalahan sosial dengan mengungkapkan apa gejala, apa das sein, dan apa das sollen dari masalah tersebut. Metode yang sama kemudian berlanjut pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, dengan memberi tugas kepada mahasiswa untuk menulis refleksi atas apa yang dilihat, diamati, dan dirasakan, baik terhadap pengalaman individu maupun masalah-masalah aktual yang sedang menjadi pusat perhatian publik. Bahkan ada metode debat. Tentu saja debat dimaksudkan untuk melihat alur penalaran mahasiswa dengan argumentasi yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dalam menyelesaikan setiap persoalan dari sisi filsafat. Dengan pendekatan dan metode seperti itu, penulis merasa mendapat pengetahuan dan pengalaman baru dan sangat berharga untuk berlatih dan mengasah kemampuan menulis dan berdebat. Diharapkan dengan metode dan pendekatan seperti itu, penulis dan teman-teman mahasiswa yang lain mendapat pemahaman yang lebih utuh dan komprehensif mengenai Filsafat Ilmu.

Nuansa akademis perkuliahan Filsafat Ilmu pada paruh kedua semakin terasa ketika diterapkan metode debat. Mahasiswa dibagi menjadi tiga kelompok untuk membahas topik kontroversial, “hasil kajian seyogyanya disampaikan kepada publik sepenuhnya” dengan mengambil latar peristiwa perseteruan antara KPK versus POLRI yang sedang hangat menjadi pembicaraan publik waktu itu. Ada kelompok pro, kelompok kontra, dan kelompok yuri. Masing-masing kelompok mengemukakan argumentasi dari sisi filsafat, mengapa pro dan mengapa kontra.

Dari proses debat tersebut penulis melihat ada hal yang menarik. Baik kelompok pro maupun kelompok kontra yang mendapat kesempatan untuk mempresentasikan argumentasi, penulis melihat belum ada yang berusaha mengungkapkan secara substansial, mengapa seyogyanya dan mengapa tidak seyogyanya suatu hasil kajian disampaikan kepada publik sepenuhnya?

Bagi penulis, “hasil kajian seyogyanya disampaikan kepada publik sepenuhnya” atau tidak, tergantung pada beberapa hal. Pertama, dari segi  substansi masalah, apakah berkaitan langsung dengan kepentingan publik atau tidak, dan apakah masalah tersebut mempunyai nilai manfaat atau tidak bagi publik. Kedua, metode yang digunakan untuk mengumpulkan data, apakah sesuai dengan masalah yang sedang diselidiki atau tidak. Ketiga, sumber dan nara sumber untuk mendapatkan data, apakah representative dan kredibel atau tidak. Keempat, apakah data yang diperoleh tersebut valid dan reliable atau tidak. Kelima, apakah data tersebut sudah melalui proses verifikasi atau tidak. Bila langkah-langkah tersebut sudah ditempuh, maka sudah bisa menjadi pegangan untuk menentukan sikap apakah “hasil kajian seyogyanya disampaikan kepada publik sepenuhnya” atau tidak.

Seusai pelaksanaan sesi debat, dosen pengasuh memberikan evaluasi dan stressing pada point-point argumentasi yang dikemukakan masing-masing peserta debat. Dari proses seperti itu, penulis dan mungkin teman-teman mahasiswa yang lain seperti mendapat nuansa baru bagaimana berdebat yang “baik” berdasarkan konteks masalah yang sedang diperdebatkan. Tentu saja dengan tidak mengabaikan sisi  Filsafat Ilmu. Yang paling penting adalah dalam menyelesaikan atau memecahkan suatu masalah tidak hanya melihat dari satu sisi, tetapi harus bisa menelisik jauh dari sisi yang lain. Tidak hanya terkungkung pada satu pola pikir (mindset) saja. Satu pelajaran penting dari kegiatan debat itu adalah sikap saling menghargai (toleran) terhadap pendapat atau argumentasi orang (lawan) debat.

Perlahan-lahan penulis dan mungkin teman-teman mahasiswa yang lain semakin terbuka wawasan memahami Filsafat Ilmu secara utuh dan komprehensif. Jalan menuju “lorong gelap” Filsafat Ilmu semakin terbuka dan terang. Mindset penulis dan teman-teman mahasiswa yang lain semakin terbuka. Meskipun dalam beberapa hal ketika menjelaskan atau membahas tentang masalah-masalah aktual menyangkut kehidupan kebangsaan penulis sedikit merasa “berseberangan” dengan dosen pengasuh MKFI. Mungkin hal ini disebabkan karena sudut pandang dan pendekatan yang digunakan berbeda. Misalnya, ketika menyatakan, “Siapa bisa menjamin bahwa dalam kasus KPK versus POLRI, Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah tidak bersalah”? Begitu pula dengan tuntutan nonaktif atau mundur terhadap Boediono dan Sri Mulyani dalam kasus Bank Century, masalah praduga tak bersalah, kasus Presiden pertama Soekarno, kasus Presiden kedua Soeharto, dan lain-lain.

Bagi penulis, dalam hal kasus KPK versus POLRI, pertanyaan bisa dibalik, “Siapa yang bisa menjamin bahwa dalam kasus KPK versus POLRI, tidak ada rekayasa”? Dalam hal kasus Bank Century, bagi penulis adalah wajar bila publik menuntut nonaktif atau mundur terhadap Boediono dan Sri Mulyani. Lepas dari “praduga tak bersalah” atau mereka terlibat atau tidak, sebagai pertanggungjawaban moral, mereka harus mundur. Karena pada hakekatnya, kasus “heboh” dana talangan kepada Bank Century sebagai akibat kebijakan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan waktu itu. Jadi, demi pembelajaran politik dan pendewasaan pengelolaan kehidupan kebangsaan, bagi setiap pejabat publik karena kebijakannya sehingga menimbulkan masalah, baik berimplikasi sosial maupun hukum, seyogya nonaktif atau mundur dari jabatannya. Karena selama ini kita cenderung berlindung di balik “praduga tak bersalah”, “bukan budaya Timur”, serta alasan-alasan sejenis lainnya. Sehingga jangan salah, bila sampai hari ini, dalam kehidupan kebangsaan sebagai bangsa kita tidak pernah “dewasa”. Kemudian yang terjadi adalah tumbuh subur budaya buruk sangka (su’udzon), saling menyalahkan, fitnah, hipokrit, dan sejenisnya. Kita selalu berteriak lantang untuk bersikap terbuka dan transparan, tetapi yang termanifestasi melalui sikap kita adalah sebaliknya.

Kembali kepada pembicaraan tentang kesan mempelajari Filsafat Ilmu pada kedua paruh perkuliahan MKFI. Dari kedua masa perkualiahan Filsafat Ilmu itu, penulis mulai mendapat gambaran secara utuh dan komprehensif apa sesungguhnya Filsafat Ilmu itu, meski masih sedikit samar-samar, tetapi sudah dapat membuka tabir “lorong gelap” itu.  

Setelah mempelajari Filsafat ilmu pada kedua paruh perkuliahan, penulis mulai menyadari bahwa Filsafat Ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti, objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap indera manusia yang membuahkan pengetahuan.

Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna dalam memahami alam sekitarnya menempuh proses yang bertingkat dari pengetahuan (sebagai hasil tahu manusia), ilmu dan filsafat. Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan "what", misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya.

Sedangkan ilmu (science) bukan sekedar menjawab "what" melainkan akan menjawab pertanyaan "why" dan "how", misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernapas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu itu terjadi. Apabila pengetahuan itu mempunyai sasaran tertentu, mempunyai metode atau pendekatan untuk mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara sistematis dan diakui secara universal maka terbentuklah disiplin ilmu. Dengan perkataan lain, pengetahuan itu dapat berkembang menjadi ilmu apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : a) mempunyai objek kajian; b) mempunyai metode pendekatan; dan c) bersifat universal (mendapat pengakuan secara umum). Sedangkan filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh di luar fakta sampai batas kemampuan logika manusia. Ilmu mengkaji kebenaran dengan bukti logika atau jalan pikiran manusia. Dengan perkataan lain, batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan "why" dan "how" sedangkan filsafat menjawab pertanyaan "why, why, dan why" dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia. Jadi, Filsafat ilmu meliputi tiga landasan pokok, yaitu landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis.

Landasan ontologis adalah tentang objek yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti tiap ilmu harus mempunyai objek penelaahan yang jelas. Karena diversivikasi ilmu terjadi atas dasar spesifikasi objek telaahannya maka tiap disiplin ilmu mempunyai landasan ontologi yang berbeda.

Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

Landasan epistemologis adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Secara umum, metode ilmiah pada dasarnya untuk semua disiplin ilmu yaitu berupa proses kegiatan induksi-deduksi-verifikasi.

Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya. Manusia tidaklah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan?

Landasan aksiologis adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan perkataan lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu serta membagi peningkatan kualitas hidup manusia.

Aksiologi berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan?

C.     Epilog

Refleksi dengan topik Menyusuri “Lorong Gelap” Filsafat Ilmu” ini tidak bermaksud untuk membandingkan “kompetensi” pengajarnya. Tetapi, mencoba menceritakan keadaan sesungguhnya yang penulis rasakan selama mengikuti perkuliahan Filsafat Ilmu, baik pada paruh pertama maupun paruh kedua. Bahwa pada masing-masing paruh perkuliahan mempunyai ciri dan warna sendiri-sendiri.

Meskipun berbeda metode dan pendekatan dalam proses perkuliahan, tetapi keduanya telah memberikan kontribusi yang sangat berharga dan meletakkan landasan awal untuk lebih jauh mempelajari Filsafat Ilmu secara serius, komprehensif, holistik (utuh), dan tidak parsial segmental. Juga, kedua pengasuh MKFI telah membuka tabir sehingga “lorong gelap” itu lambat laun menjadi terkuak dan terbuka dan berubah menjadi suasana terang dan menyenangkan.

Menulis refleksi ibarat mencoba mengumpulkan untaian-untaian pengalaman menjadi sebuah mozaik cerita. Cerita yang tersusun tidak hanya menjadi sekedar “sebuah cerita”, tetapi cerita tersebut mempunyai nilai dan makna, minimal bagi penulisnya. Akan mempunyai nilai lebih, bila cerita yang berasal dari refleksi pribadi itu, bisa menjadi inspirasi bagi orang lain.

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar