Entri Populer

Jumat, 07 Januari 2011

MENAKAR TUGAS DAN FUNGSI LEMBAGA

MENAKAR TUGAS DAN FUNGSI LEMBAGA
(Sebuah Refleksi)



Oleh : Nurdin Taher )



Pengantar

Tulisan ini merupakan penjelasan dan elaborasi lebih jauh terhadap pertanyaan/pandangan penulis yang dikemukakan pada kegiatan In House Training (IHT) pada 9 s.d. 11 Desember 2010 di LPMP Sulsel. Penulis merasa perlu menjelaskan kembali secara lebih detil ide pokok dari pertanyaan itu supaya tidak mengalami distorsi makna, mengingat atas pertanyaan itu bukan tidak mungkin telah menimbulkan mis-interpretasi. Karena itu, tulisan ini merupakan pandangan pribadi yang bersifat reflektif dan tidak berpretensi untuk mewakili aspirasi unit kerja (seksi/bagian) tertentu. Meski dalam paparannya nanti terkesan mewakili aspirasi unit kerja (seksi/bagian), hal itu tidak bisa terhindarkan. Mengingat sebagai orang yang sedang memberi “penilaian” terhadap proses dan dinamika yang sedang terjadi, juga terlibat langsung sebagai bagian yang tidak bisa terpisahkan dari unit kerja (seksi/bagian).

“Monopoli” Tugas dan Fungsi

Benarkah tugas dan fungsi unit kerja (seksi/bagian) adalah murni sebagai tugas dan fungsi unit kerja (seksi/bagian), dan karena itu sepenuhnya menjadi hak prerogatif unit kerja (seksi/bagian) sehingga dalam realisasinya menjadi “monopoli” unit kerja (seksi/bagian) yang bersangkutan tanpa harus berkoordinasi, apalagi melibatkan personel staf dari unit kerja (seksi/bagian) lain? Bukankah tugas dan fungsi unit kerja (seksi/bagian) merupakan penjabaran (elaborasi) dari tugas dan fungsi lembaga?

Sejatinya tugas dan fungsi unit kerja (seksi/bagian) menjadi bagian yang integral yang tidak dapat dipisahkan dari tugas dan fungsi lembaga. Artinya, semua tugas dan fungsi unit kerja (seksi/bagian) dilakukan dalam kerangka melaksanakan tugas dan fungsi lembaga. Dengan begitu, berarti setiap personel karyawan/staf dalam lembaga itu mempunyai kewajiban dan memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan dukungan (kontribusi) dalam pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut, tanpa harus melihat dan membedakan baju yang dipakai personel staf tersebut. Jika demikian filosofinya, maka perasaan memiliki “hak prerogatif” dan “hak monopoli” tugas dan fungsi tidak lagi menjadi sebuah kecenderungan sikap, yang pada gilirannya dapat melahirkan perlakuan diskriminiatif. Sejauh kecenderungan sikap merasa memiliki “hak prerogatif” dan “hak monopoli” terhadap tugas dan fungsi, yang nota bene merupakan penjabaran dari tugas dan fungsi lembaga, maka sikap altruisme dan sifat sosial yang diiringi rasa empati akan semakin jauh dari interaksi yang saling berbagi dalam kebersamaan sebuah entitas sosial. Implikasi lebih jauh dapat menimbulkan gejala polarisasi antarunit kerja (seksi/bagian), sehingga muncul sikap apatis terhadap program lembaga. Apatalagi entitas lembaga pemerintah yang disebut sebagai Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Tidakkah kita merasa bahwa dalam istilah nomenklatur tersebut terkandung makna saling mendukung dan saling berbagi? Janganlah karena egoisme kelompok dan merasa memiliki “hak prerogatif”, karena itu merasa, bahwa adalah wajar untuk memonopoli kegiatan dengan alasan melaksanakan tugas dan fungsi, yang galibnya hanya untuk menunjukkan kecenderungan mengabaikan hubungan sosial dan silahturahmi!

Bahwa dalam mendukung ketercapaian tujuan lembaga maka dijabarkan melalui tugas dan fungsi unit kerja (seksi/bagian) sebagai garda terdepan pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga. Jadi, semestinya pelaksanaan tugas dan fungsi unit kerja (seksi/bagian) semata-mata dalam kerangka untuk mendukung pencapaian tugas dan fungsi (tujuan) lembaga. Karena itu keterkaitan dan interkoneksi antar unit kerja merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka untuk membangun sinergitas. Dengan demikian, menurut penulis tidaklah tepat, hanya karena dalih tugas dan fungsi, suatu unit kerja (seksi/bagian) merasa berhak “memonopoli” kegiatan dan mengabaikan aspek kebersamaan dan malah menumbuhkan ekslusifisme. Kondisi demikian dapat mengurangi rasa tanggung jawab (responsibility) dan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap pelaksanaan program lembaga pada sebagian personel staf dari unit kerja (seksi/bagian) yang lain.

Unit Kerja Centris

Meski pada faktanya tugas dan fungsi unit kerja (seksi/bagian) sebagai penjabaran dari tugas dan fungsi lembaga, bukanlah berarti hal itu dapat menjadi pembenar (justifikasi) untuk “mengisolasi diri” dan “mengkarantina” kegiatan/program lembaga melalui suatu unit kerja (seksi/bagian) dari kemungkinan keterlibatan semua personel staf. Sikap seperti itu dapat melahirkan gejala ekslusifisme kelompok karena merasa apa yang sedang dilakukan merupakan pelaksanaan tugas dan fungsi suatu unit kerja (seksi/bagian) yang tidak boleh dicampuri oleh unit lain. Kecenderungan seperti ini akan melahirkan gejala polarisasi, yang pada ujungnya melahirkan kesan “ada kantor di dalam kantor”. Ada unit kerja (seksi/bagian) tertentu dalam sebuah lembaga yang merupakan unit kerja yang tidak bisa terpisahkan dari unit kerja lain dari lembaga itu, karena arogansi dan egoisme kelompok “mengisolasi diri” sekaligus “mengkarantina” kegiatan/program lembaga, dan merasa apa yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tanpa mempedulikan kondisi lingkungan sekitarnya. Terasa kita kehilangan empati dan nurani kebersamaan, bahwa sebenarnya “kita bersama”, sebagai sebuah komunitas dengan tujuan yang sama. Kita seakan kehilangan kepekaan (sensitifitas) untuk membaca lingkungan di sekitar kita, sehingga seakan menutup mata untuk sekedar mengajak dan “mau berbagi”. Inilah akibat dari berkembangnya sikap unit kerja centris, semuanya serba unit kerja. Lebih berorientasi pada “tujuan kami”, bukan lebih mengembangkan orientasi “tujuan kita”. Celakanya, sikap yang berpusat pada unit kerja ini, hanya berlaku sepanjang menyangkut kegiatan-kegiatan atau program yang mempunyai implikasi anggaran (finansial). Tapi, ketika hal itu tidak berimplikasi langsung terhadap anggaran, maka hal itu kemudian di-blow-up sebagai tugas dan fungsi lembaga inklusif tugas dan fungsi bagian umum.

Idiom “Tempat Basah” dan “Tempat Kering”

Tak dapat dipungkiri bahwa penjabaran (elaborasi) tugas dan fungsi lembaga menjadi tugas dan fungsi unit kerja (seksi/bagian) telah melahirkan idiom “tempat basah” dan “tempat kering”. Jika idiom ini diterima sebagai sesuatu yang tidak bisa terelakkan dari pembagian tugas dan fungsi, tidaklah harus membuat kita kehilangan rasionalitas. Tentu saja ada tugas dan fungsi tertentu dari suatu unit kerja (seksi/bagian) tidak harus melibatkan semua unsur terkait. Tapi, semestinya perlu dipertimbangkan sistem proporsionalitas dari semua unsur terkait untuk menumbuhkan sinergitas, sehingga terasa lebih bermakna pencapaian tujuan lembaga sebagai tujuan bersama (“tujuan kita”). Tidaklah karena egoisme kelompok, kemudian mengklaim semata-mata sebagai keberhasilan kelompok.

Sebuah lembaga ibarat sebuah rumah. Sebuah rumah memiliki beberapa bilik kamar, yang menunjukkan unit kerja (seksi/bagian) dalam lembaga itu. Masing-masing kamar dihuni oleh beberapa orang dengan seseorang yang ditunjuk sebagai pemimpin (kepala kamar, kepala rumah tangga, misalnya). Setiap kamar dengan penghuninya memiliki tugas dan fungsi yang harus dilaksanakan untuk mendukung pencapaian tujuan bersama semua anggota dalam rumah itu. Meski masing-masing kamar dan kepala kamar (kepala rumah tangga) diberi wewenang untuk melaksanakan tugas dan fungsi kelompoknya, tapi dalam hal pelaksanaannya setiap kamar harus senantiasa berkoordinasi dan bekerja sama untuk menciptakan sinergitas untuk mencapai tujuan bersama (“tujuan kita”).

Misalkan saja, dari beberapa kamar yang ada dalam sebuah rumah yang telah diberi wewenang untuk melaksanakan tugas dan fungsi (program kegiatan), ada yang mendapat “kamar basah” dan mungkin pula ada yang mendapat “kamar kering”. Meski demikian, antara “kamar basah” dan “kamar kering”, seyogyanya terjalin hubungan interkoneksi dan koordinasi yang simbiosis mutualisme guna menumbuhkan sinergitas, yang pada muaranya untuk mencapai tujuan bersama (“tujuan kita”).

Bahwa “kamar basah” dan “kamar kering” adalah suatu keniscayaan, tidaklah berarti hal itu menjadi justifikasi, bahkan legitimasi untuk terus mempertahankan fenomena “memonopoli” dan “mengkarantina” suatu program kegiatan. Tidakkah kita merasa “risih”, bila dalam sebuah rumah ada penghuni suatu kamar yang dikategorikan “kamar basah”, merasa kenyang sendiri, sementara di seberang kamar yang lain, penghuninya hanya duduk memegang perut karena lapar, “sebagai penonton” memperhatikan teman serumah di “kamar basah” kekenyangan sendiri? Jika kondisi demikian terus berlanjut maka sangat boleh jadi akan berimplikasi pada motivasi kerja, yang pada gilirannya bisa berpengaruh pada mutu layanan (budaya mutu) dan kinerja lembaga secara keseluruhan. Implikasi lebih jauh, personel staf tidak mau lagi melaksanakan tugas dan fungsi yang merupakan bagian dari tanggung jawab dan kewajibannya, karena merasa mereka berada di “tempat kering” yang tidak menghasilkan sesuatu untuk peningkatan kesejahtreraannya, sementara di pihak lain mereka melihat teman-temannya yang berada di “tempat basah” dengan alasan juga melaksanakan tugas dan fungsi, tapi dapat memberi dampak pada peningkatan kesejahteraan mereka.

Idiom “tempat basah” atau “tempat kering” sebagai sebuah keniscayaan semestinya tidak menjadi argumentasi untuk menjustifkasi kondisi yang sedang berlagsung. Jika hal ini yang terjadi, bisa jadi akan muncul gejala apatis (masa bodoh) dari personel staf dari unit kerja (seksi/bagian) lain terhadap pelaksanaan suatu kegiatan dari suatu unit kerja (seksi/bagian), meski kegiatan tersebut juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga. Personel staf yang berada pada “tempat kering” merasa tidak terikat secara emosional sehingga tidak merasa perlu turut bertanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan kegiatan itu. Bisa jadi, mereka (staf) yang kebetulan ditugaskan pada “tempat kering”, merasa “dianaktirikan”, karena berada di “tempat kering”, sehingga tidak mendapat perlakuan yang adil dan tidak mendapat penghargaan yang semestinya. Dampak selanjutnya dapat diduga, semua staf akan beramai-ramai menolak untuk ditugaskan di “tempat kering”, dan lebih memilih “tempat basah”. Jika kondisi ini berlanjut, sangat boleh jadi akan sangat berpengaruh terhadap kinerja lembaga secara keseluruhan. Tentu saja kita semua tidak berharap hal itu terjadi.

Penutup

Uraian di atas hanya merupakan gambaran yang belum tentu semuanya sesuai dengan “kenyataan” yang sesungguhnya. Gambaran itu hanya merupakan pandangan pribadi, yang tentu saja berpotensi sangat bias, karena mungkin saja dinilai sebagai tendensi yang ambigu. Namun demikian, setidak-tidaknya uraian itu sudah menjadi pengantar diskusi dan boleh jadi bisa menjadi bahan renungan (kontemplasi) untuk introspeksi demi perbaikan ke depan. Bahwa di dalam sebuah entitas sosial, bukan hanya “kami”, tapi ada juga “kita”. Di dalam “ke-kita-an”, pasti kita merasa bersama, senasib dan sepenanggungan. Sehingga tidak lagi berkembang argumen bahwa sudah menjadi suatu “berkah” mendapat “tempat basah”, dan adalah sudah menjadi “takdir/nasib” mendapat “tempat kering”. Alangkah tidak eloknya, dalam sebuah rumah, apalagi lembaga resmi, muncul pandangan yang bias seperti itu. Oleh karena itu, konsep “kita” perlu lebih dikedepankan untuk menjalin rasa kebersamaan dalam kekeluargaan demi mengukuhkan ukhuwah, ketimbang konsep “kami”. Karena di dalam konsep “kami” kurang ada rasa empati yang berasal dari jiwa altruisme yang tumbuh atas kesadaran konsep “kita”. Dengan demikian, pertanyaan bahwa “apakah semua staf, entah itu dia berada di seksi/bagian, “tempat basah” atau “tempat kering” bersedia melaksanakan tugas dan fungsi tanpa mengharapkan insentif berupa honor, tidak lagi relevan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar