Entri Populer

Kamis, 06 Januari 2011

GERAKAN EMANSIPASI DAN ISU GENDER

GERAKAN EMANSIPASI DAN ISU GENDER
Oleh : Nurdin Taher









A.    Pengantar
Tulisan ini mencoba menjelaskan gerakan emansipasi dihubungkan dengan isu gender. Karena itu tulisan ini hanya mencoba untuk mengelaborasi salah satu isu yang menunjukkan gerakan demokratisasi yang pernah dan akan terus berlangsung di Indonesia, yakni gerakan emansipasi dan gender. Menelisik semua gerakan demokratisasi seperti emansipasi dan gender ibaratnya kita mencoba melakukan kilas balik (flashback) sejarah ke masa lampau. Karena sesungguhnya semua gerakan yang bertujuan untuk menciptakan kebebasan dan meningkatkan kesejahteraan sosial itu sudah berlangsung sejak lama. Hal ini dapat dilihat dari proses perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Seperti apa yang ditegaskan oleh Jakob Oetama, bahwa pergerakan Indonesia membangkitkan kesadaran berbangsa dan bernegara merdeka (dalam Pengantar buku Wajah DPR RI Pemilu, 1999, Santoso, 2000:xi).
Saya tertarik membahas masalah ini, karena bagi saya gerakan emansipasi dan gender yang untuk kasus Indonesia masih menjadi debatable. Apakah gerakan ini perlu dikembangkan dan disupport serta diapresiasi dalam rangka menciptakan Indonesia yang lebih baik dan maju di masa depan? Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang lebih utuh (holistik) agar tidak menimbulkan bias yang berlebihan. Bahwa isu tentang gender ini perlu terus disosialisasi untuk menyamakan persepsi tentang konsep dasar gender agar diperoleh pemahaman yang relatif seragam sehingga tidak menimbulkan kesalahpemahaman pada masing-masing individu, terutama sebagai warga bangsa  supaya dapat mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Program pengarusutamaan gender di Indonesia belum berjalan secara optimal. Karena selain dimensi permasalahannya yang sangat beragam, persepsi dan pemahaman masyarakat tentang gender masih sering berbeda dan rancu, mengingat istilah itu bukan berasal dari bahasa Indonesia yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai jenis kelamin. Padahal secara sosiologis istilah atau kosakata gender tidak hanya menunjuk pada jenis kelamin, tetapi lebih jauh dari itu, yakni menunjuk pada konstruksi sosial terhadap jenis kelamin perempuan dan laki-laki.
B.    Emansipasi dan Isu Gender
Gerakan emansipasi di Indonesia dapat ditelusuri melalui sejarah perjuangan R. A. Kartini dalam memperjuangkan nasib kaum wanita agar dapat memperoleh hak yang “relatif” sama dengan kaum pria. Emansipasi wanita di Indonesia, yang dipelopori oleh Ibu Kartini, dan diperingati setiap 21 April setiap tahunnya, telah merubah sejarah Indonesia terutama di kalangan kaum wanita.
Persamaan kedudukan dan hak yang diperjuangkan R. A. Kartini pada waktu itu walau masih sebatas tuntutan untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pendidikan, telah menginsipirasi banyak kaum wanita Indonesia untuk bangkit memperjuangkan hak-haknya, baik hak sosial, politik, maupun hukum agar diperlakukan secara adil dan tidak diskriminatif. Hal inilah yang mungkin mengilhami dan mendorong berbagai gerakan berbau feminis yang akhir-akhir ini, seiring dengan proses globalisasi yang membangkitkan kesadaran gender. Dan istilah terakhir ini dalam debat publik semakin familiar di telinga publik.
Bahwa membicarakan emansipasi wanita maupun pria sangat berhubungan erat dan tidak bisa lepas membicarakan masalah gender. Istilah gender pada dewasa ini merupakan salah satu kosakata yang paling sering dan paling gemar diucapkan dan menjadi mainstream dalam diskursus publik. Tak ketinggalan mulai dari birokrat, LSM, artis, dan masyarakat biasa merasa tidak afdhol bila dalam diskusi-diskusi mereka tidak menyebutkan istilah gender. Sebagaimana dilansir oleh Sutinah, isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial (Gender & Kajian Tentang Perempuan, dalam Narwoko dan Suyanto (ed), 2007:333). Terus, apa sebenarnya emansipasi dan gender?
Emansipasi dalam Kamus Inggris Indonesia, An English-Indonesian Dictionary (Echols dan Shadily, 2006:210) diartikan sebagai kemerdekaan, pembebasan, sedangkan gender diartikan sebagai jenis kelamin (Echols dan Shadily, 2006:265).
Emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu (http://id.wikipedia.org/wiki/Emansipasi). Beberapa ahli sosiologi klasik, seperti Karl Marx telah mencoba menjelaskan masalah emansipasi, khususnya emansipasi politik dalam esainya Zur Judenfrage (Tentang Masalah Yahudi). Menurut Marx, emansipasi politik adalah  kesamaan derajat warganegara perseorangan dalam hubungannya dengan negara, kesamaan di depan hukum, tanpa memandang agama, harta benda, atau ciri orang perorang 'pribadi' lainnya (ibid.,). Berdasarkan pandangan inilah dan dengan alasan gender maka sekarang kita bisa menyaksikan kaum perempuan Indonesia dapat memperoleh hak politiknya dan berkiprah di lembaga legislatif menjadi anggota DPR karena ada pembagian kuota untuk perempuan sebesar 30%, walau belum sepenuhnya terpenuhi.
Di atas sudah disebutkan bahwa gerakan emansipasi wanita di Indonesia dipelopori oleh R. A. Kartini. Setidaknya ada dua alasan, R. A. Kartini merasa prihatin dengan kondisi sosial yang dialami kaum wanita pada waktu itu dan kemudian memutuskan membangkitkan kesadaran kaum wanita untuk memperjuangkan hak-hak sosial, politik, dan hukum sebagaimana yang dinikmati kaum pria. Menurut R. A. Kartini, bahwa kedudukan wanita secara sosial di masyarakat Indonesia sangatlah rendah pada waktu itu. Contohnya, wanita hanyalah bisa ‘berdiam’ di rumah orang tuanya, dipersiapkan untuk menikah. Setelah menikah, wanita dibawah otoritas suaminya. Pendidikan bukanlah hak para wanita, tugas mereka hanyalah urusan rumah tangga. Karena kondisi sosial yang kurang memberikan ruang gerak bagi wanita untuk mendapatkan hak-haknya dan diperlakukan sama dan secara adil, maka R. A. Kartini kemudian mempelopori gerakan emansipasi wanita untuik memperoleh hak wanita dalam pendidikan, otoritas, kedudukan di muka hukum (legalitas), dan banyak lainnya (lihat http://garamdunia.wordpress.com/2007/04/23/emansipasi-wanita/).
Sedangkan yang dimaksud dengan gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggungjawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat (http://www.museum-nias.org/?p=236). Gender adalah pembagian peran, kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai norma-norma, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat. Misal perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga, sedang laki-laki dianggap tidak pantas; tugas utama laki-laki mengelola kebun, tugas perempuan ‘hanya membantu’; dan kegiatan PKK dan program kesehatan keluarga, seperti posyandu lebih pantas dilakukan oleh perempuan; dan anggapan stereotype lainnya.
Menurut Sutinah dengan mengutip Ann Oakley (1972, dalam Fakih, 1997), istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai suatu analisis ilmu sosial, dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap sebagai alat yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum (dalam Narwoko dan Suyanto (ed), 2007: 333). Karena itu dapat dipahami bahwa gender merupakan sebuah gerakan yang bertujuan untuk menghilangkan atau menghapuskan perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Gender adalah konsep budaya yang diberikan pada seseorang karena ia terlahir dengan jenis kelamin tertentu. Sebagai akibat dari suatu proses kebudayaan, maka ada perbedaan perlakuan antara laki-laki dengan perempuan dalam peranan sehari-hari, yang kemudian menjadi stereotype tertentu di dalam masyarakat (http:// www.fortunecity.com/healthclub/cpr/950/gender.html). Gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan (Sutinah, dalam Narwoko dan Suyanto (ed), 2007:334).
Lebih lanjut, Sutinah menyebutkan bahwa gender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan (memilahkan atau memisahkan) fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan dan pembangunan (ibid.,  h. 334-335).
Disadari bahwa masih banyak orang keliru memahami istilah gender. Masih banyak orang menganggap bahwa gender itu sama dengan jenis kelamin, yang melihat semata-mata pada aspek seks. Padahal, gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender adalah sebuah gerakan yang yang mencoba memperjuangkan kesetaraan dan keadilan perlakuan antara laki-laki dan perempuan, yang tidak hanya semata berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Kekeliruan atau mispersepsi tentang kesetaraan dan keadilan gender yang merupakan kesamaan hak antara perempuan dengan laki-laki oleh beberapa kalangan masyarakat, antara lain disebabkan (http://www. gugustugastrafficking.org/), karena :
1.     Gender dianggap sebagai sesuatu yang menyebabkan perempuan menjadi lupa akan kodratnya, atau
2.     Gender dianggap sebagai bentuk upaya perempuan menyaingi laki-laki, atau
3.     Gender dianggap sebagai intervensi budaya asing yang akan merombak tatanan budaya harmonis antara perempuan dan laki-laki, atau
4.     Bicara soal gender hanyalah bicara soal perempuan sehingga laki-laki tidak perlu terlibat di dalamnya.
Akibat lanjut dari pandangan yang keliru tentang gender ini melahirkan perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan dan pembangunan, khususnya dalam hal pembagian kerja. Yang paling banyak mendapat perlakuan yang diskriminatif dari persepsi yang salah ini adalah kaum perempuan. Perempuan hanya dipersepsikan sebagai makhluk yang lemah lembut, feminim, cantik, emosional, dan keibuan, sehingga  hanya pantas melakukan peran-peran domestik, misalnya mengandung dan melahirkan (fungsi reproduksi), mengurus dan mendidik anak, mengerjakan urusan-urusan dapur dan rumah tangga lainnya.  Sementara itu, laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa, sehingga di pundak laki-lakilah dianggap paling pantas mengemban tugas-tugas publik.
Menurut Stephen K. Sanderson (2003: 422) bahwa semua masyarakat manusia mempunyai pembagian kerja menurut jenis kelamin dan ketidaksamaan menurut jenis kelamin. Pria cenderung mendapat pekerjaan lebih banyak, dan lebih sering ke luar rumah. Kaum wanita lebih cenderung mendapat peranan yang lebih bersifat pengulangan dan memerlukan lebih sedikit konsentrasi. Selanjutnya Sanderson menegaskan bahwa ketidak-samaan ini secara universal lebih menguntungkan laki-laki (2003:422). Karena itu pada umumnya kaum laki-laki merasa sangat “terusik” dengan gerakan atau isu gender. Bagi kaum laki-laki,  dengan memberikan ruang bagi gerakan gender akan mengusik status istimewa (privelege) yang selama ini dinikmati dan dapat merongrong kewibawaan dan kemapanan yang sudah berlangsung selama ini, baik dalam hal pranata-pranata politik dan keluarga masyarakat dalam superstruktur ideologis mereka, dan dalam sejumlah aspek lainnya dalam interaksi harian kaum pria dan wanita (lihat Sanderson, 2003:422).
Konstruksi sosial seperti ini bahkan sejak awal kehadiran seorang individu manusia sudah dibentuk dan disosialisasikan. Misalnya ketika masih kanak-kanak, dalam melakukan dan memilih jenis permainan sudah disesuaikan dengan jenis kelamin seorang anak. Seperti anak laki-laki hanya boleh bermain kuda-kudaan, mobil-mobilan, dan jenis permainan yang mengutamakan kekuatan fisik lainnya, sedangkan anak perempuan diidentikkan dengan jenis permainan yang tidak terlalu menuntut kekuatan fisik, yakni permainan boneka, masak-masakan, dan permainan sejenis lainnya. Jadi, sebenarnya masyarakat sendiri yang secara sadar telah membentuk polarisasi bagimana seorang anak laki-laki dan perempuan terbentuk hingga dewasa, bahkan sampai pada ranah publik dalam hal memilih pekerjaan. Sebagai misal, seorang pimpinan eksekutif apakah dia seorang manager, komisaris, direktur, atau presiden direktur, bila dalam merekrut seorang sekretrais lebih memilih yang berjenis kelamin perempuan ketimbang laki-laki. Begitu pula halnya dalam menentukan atau memilih seorang penjaga (bodyguard) atau sekuriti, yang diutamakan adalah laki-laki yang diidentikkan dengan simbol kekuatan dan keperkasaan.
Pandangan yang keliru atau bias tentang gender ini sebenarnya  dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun kekuasaan negara. Melalui proses panjang sosialisasi secara tidak sadar akhirnya semua konstruksi sosial yang keliru tersebut dianggap menjadi ketentuan Tuhan, yang seolah-olah bersifat biologis dan tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan atau sesuatu yang given sudah ada dari sononya (lihat Suryanto, dalam http://suryanto.blog. unair.ac.id/2009/02/11/gender-apa-itu/; lihat juga Sutinah (dalam Narwoko dan Suanto, 2007:335).
C.    Berbagai Ragam Ketidakadilan Gender
Sesungguhnya masih banyak terjadi kesenjangan atau ketidakadilan gender yang terjadi dalam masyarakat warga bangsa Indonesia. Mulai dari ranah domestik hingga ke ranah publik. Terutama pada masyarakat pedesaan yang agraris yang masih kental dengan budaya feodal dan patriakhi. Terutama hal ini dialami oleh kaum perempuan. Menurut Sanderson (2003:422), di dalam masyarakat agrarislah status kaum wanita paling rendah, sebagian besar dibatasi pada kehidupan yang dioreintasikan sekitar rumah tangga, kaum wanita dipandang sebagai tanggungan pria. Di dalam kondisi masyarakat demikian terdapat kepercayaan yang kuat mengenai inferioritas jenis kelamin wanita yang inheren.
Sebaliknya pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, masih sering dijumpai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam memperoleh peluang, kesempatan dan akses serta kontrol dalam pembangunan, serta perolehan manfaat atas hasil pembangunan. Hal ini tidak lain karena masalah structural. Selain nilai-nilai budaya patriarkhi yang dilegitimasi dengan (atas nama) agama dan sistem sosial yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kedudukan dan peran yang berbeda dan dibeda-bedakan (Zaitunah Subhan, 2001:17-18).
Menurut Fakih (1997:12-23) sebagaimana dikutip Sutinah (dalam Narwoko dan Suyanto, 2007:341) bahwa ketidakadilan gender lahir karena beberapa hal berikut:
1.     Marginalisasi perempuan, adalah suatu proses pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu dalam hal ini perempuan disebabkan oleh perbedaan gender.
2.     Subordinasi, yakni menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting (tidak strategis) karena anggapan keliru bahwa perempuan itu emosional, irasional, dan tidak bisa tampil menjadi pemimpin.
3.     Stereotip, adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan.
4.     Kekerasan (violence), adalah suatu serangan (assault) baik terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang, karena ketidaksetaraan kekuatan atau kekuasaan dalam masyarakat.
5.     Beban kerja, karena dengan anggapan bahwa kaum perempuan itu bersifat feminim maka hanya cocok melakukan pekerjaan domestik yang tidak terlalu menuntut kekuatan fisik.

D.    Kesetaraan dan Keadilan Gender
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam  menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan (http://www.duniaesai.com/; dan http://www.asmakmalaikat.com/).
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki (ibid.,).
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh
manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki
wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.
Dengan kondisi demikian diharapkan Indonesia ke depan dapat lebih berkembang maju dan lebih baik dalam hal peningkatan kesejahteraan dan keadilan bagi sesama warga bangsa tanpa membedakan atau diskriminasi jenis kelamin. Ke depan diharapkan terkadi pembagian tugas secara berimbang antara perempuan dan laki-laki tanpa ada perlakuan diskriminatif yang dapat memarginalisasi salah satu kelompok atas nama perbedaan jenis kelamin.

E.     Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa gerakan emansipasi dan gender merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merombak ulang konstruksi sosial yang bias dan sudah terbentuk selama ini untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam memperoleh hak-hak mereka. Disadari bahwa diskriminasi gender telah melahirkan ketimpangan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, selain itu ketimpangan lebih banyak dialami perempuan dari pada laki-laki.
Akibat diskriminasi gender yang telah berlaku sejak lama, kondisi perempuan Indonesia di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, politik, hankam dan HAM berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kondisi yang tidak menguntungkan ini apabila tidak diatasi, maka ketimpangan atau kesenjangan pada kondisi dan posisi perempuan tetap saja akan terjadi.
Bahwa status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui. Kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional terutama di pedesaan, dimana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keadaan ini menciptakan permasalahan tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan, dimana diharapkan perempuan memiliki peranan yang lebih kuat dalam proses pembangunan. Kurangnya keikutsertaan perempuan dalam memberikan konstribusi terhadap program pembangunan menyebabkan kesenjangan yang ada terus saja terjadi.
DAFTAR BACAAN
Buku :
Echol, John M. dan Hasan Shadily. 2006. Kamus Inggris Indonesia, An English-Indonesia Dictionary. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Oetama Jakob, “Kata Pengantar”, dalam F. Harianto Santoso, (editor). 2000. Wajah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pemilihan Umum 1999. Jakarta: Harian Kompas.
Sanderson, Stephen K. 2003. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sutinah, “Gender & Kajian tentang Perempuan”, dalam J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (ed.). 2007. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana.
Internet :
http://garamdunia.wordpress.com/2007/04/23/emansipasi-wanita/
http://id.wikipedia.org/wiki/Emansipasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar