Entri Populer

Kamis, 06 Januari 2011

ANALISIS TERHADAP SISTEM SOSIAL BUDAYA, KESEMPATAN MEMPEROLEH PENDIDIKAN, DAN PEMBANGUNAN LAMAKERA

ANALISIS TERHADAP SISTEM SOSIAL  BUDAYA,  KESEMPATAN MEMPEROLEH PENDIDIKAN, DAN PEMBANGUNAN LAMAKERA KABUPATEN FLORES TIMUR
Oleh : Nurdin Taher
Prolog
Sesungguhnya perkembangan dan kemajuan suatu daerah sangat ditentukan oleh jumlah dan tingkat pendidikan masyarakat pada daerah itu. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin bertambah populasi kaum terdidik (intelektual) dalam masyarakat pada daerah itu, maka semakin berkembang dan maju pula daerah tersebut.
Sementara itu perkembangan dan tingkat pendidikan suatu masyarakat sangat dipengaruhi berbagai faktor. Salah satu faktor yang turut berpengaruh terhadap perkembangan dan tingkat pendidikan suatu masyarakat adalah berkaitan dengan faktor budaya. Sistem adat yang berlaku dan dianut masyarakat pada suatu daerah, yang merupakan bagian dari kebudayaan, turut pula menentukan perkembangan dan tingkat pendidikan masyarakatnya. Begitu pula halnya dengan Lamakera.
Lamakera adalah sebuah wilayah atau daerah yang terletak di pulau Solor, yang merupakan salah satu kepulauan di Kabupaten Flores Timur. Secara administratif, Lamakera terbagi menjadi dua desa, yaitu Desa Motonwutun dan Desa Watobuku. Dari segi pembangunan, kondisi sosial ekonomi Lamakera (Motonwutun dan Watobuku) relatif belum berkembang secara signifikan. Usaha-usaha pembangunan dengan melakukan perubahan, baik melalui program pemerintah maupun oleh kaum terdidik (intelektual) Lamakera selalu kurang membawa hasil yang optimal. Hal ini diasumsikan terkait dengan faktor budaya (mental) yang masih terikat pada nilai-nilai atau sistem budaya (adat) yang berlaku dan dianut oleh masyarakat setempat. Muncul kemudian pertanyaan, adakah sistem budaya (adat) yang berlaku dan dianut oleh masyarakat Lamakera sekarang kurang akomodatif memberi kesempatan kepada warganya untuk memperoleh pendidikan secara memadai? Atau dengan kata lain, adakah aspek-aspek tertentu dari sistem adat Lamakera yang dapat menghambat kesempatan memperoleh pendidikan bagi warganya?
Implikasi dari pertanyaan di atas melahirkan pertanyaan berikutnya, yakni apakah masih kurang populasi kaum terdidik (intelektual) Lamakera sehingga kurang memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan pembangunan Lamakera?
Uraian selanjutnya akan mencoba mengkaji aspek-aspek sistem adat Lamakera yang kurang kondusif memberikan kesempatan kepada warga (anak-anak) Lamakera dalam memperoleh pendidikan untuk meningkatkan wawasan secara memadai. Padahal dengan pengetahuan dan wawasan yang luas diharapkan dapat menjadi motor penggerak bagi pembangunan di Lamakera.
Sistem Sosial Budaya (Adat) Lamakera
Berdasarkan tinjauan historis maka secara tradisional sistem adat yang berlangsung di Lamakera terbagi dalam tujuh suku. Dalam tujuh suku itu masih terbagi lagi dalam sub-sub suku, yang dalam istilah adat Lamakera dikenal dengan nama kle. Sedangkan dalam kle itu sendiri terbagi lagi dalam sub-sub kle, yang disebut deko, dan seterusnya mungkin masih ada pembagian lainnya. 
Antara suku yang satu dengan suku yang lainnya terjadi relasi interkoneksi dan interaksi yang saling membutuhkan dan menguntungkan (simbiose mutualisme). Relasi interkoneksi dan interaksi ini dalam sistem adat Lamakera termanifestasi dalam berbagai terminologi adat.
Adat Lamakera dan beberapa daerah lainnya di Flores Timur mengenal berbagai istilah atau terminologi yang menggambarkan bagaimana relasi interkoneksi dan interaksi antarwarga antara suku yang satu dengan suku yang lain. Terminologi-terminologi tersebut antara lain, opulake (saudara laki-laki dari istri ipar yang berasal dari satu suku), anakopu (suami dari saudara perempuan opelake), opuwae (istri dari opulake), inakbine (saudara perempuan dari opulake), umalamak (berbagai jenis barang maupun uang yang akan disumbangkan kepada orang yang akan melaksanakan pesta), gelekat, gemohing, tanali (barang atau uang yang harsu diberikan kepada orang yang melaksanakan pesta), kabarak (pemudi), kamamung (pemuda), dan lain-lain.
Menurut Bria, terminologi gelekat berarti sumbangan yang diserahkan kepada anggota keluarga atau suku (atau kepada anggota kelompok yang tidak terikat/terbatas pada suku dan keluarga).[1] Bria mengartikan terminolgi gelekat sebagai salah satu bentuk dari etos kerja yang berlaku di hampir seluruh daerah Flores Timur,  termasuk Lamakera (tambahan termasuk Lamakera dari penulis).[2] Dalam konteks gelekat menunjuk pada relasi interkoneksi antarwarga Lamakera di mana semua komponen masyarakat, terutama anakopu dan inekbine dengan sungguh-sungguh harus menunjukkan komitmen dan kontribusi secara konkrit dalam suatu kegiatan atau hajatan. Anakopu dan inekbine harus siap “mengabdi” dan memberikan kontribusi konkrit sebagai wujud gelekat terhadap opulake. Konsekuensinya adalah setiap kegiatan atau hajatan yang dilakukan oleh opulake, dalam kondisi apapun, anakopu dan inakbine harus siap menyukseskan. Bentuk “pengabdian” anakopu dan inekbine dapat berupa tenaga, pemikiran, terlebih-lebih materi. Bahkan dalam banyak hal wujud “pengabdian” itu harus ditunjukkan dalam bentuk materi. Dalam istilah adat Lamakera disebut umalamak. Karena itu, setiap opulake melaksanakan suatu hajatan maka dalam kondisi dan alasan apapun anakopu dan inakbine harus siap sedia memberikan sumbangan (umalamak). Tidak menjadi soal, apakah umalamak yang diberikan itu bersumber atau berasal dari aset sendiri atau dengan cara berhutang? Sementara anggota masyarakat lainnya memberikan sumbangan untuk membantu kelancaran kegiatan hajatan itu dalam bentuk memberikan tanali (sumbangan berupa materi).
Ada   pameo,  bila   opulake    melaksanakan  hajatan   kemudian  anakopu  dan inakbine tidak memberikan umalamak, maka mendapat penilaian yang kurang simpatik. Ada semacam sanksi moral yang harus ditanggung oleh anakopu dan inakbine bila tidak berpartisipasi dalam kegiatan adat yang dilaksanakan oleh opulake atau suku. Karena faktor-faktor tersebut, sehingga melahirkan budaya “gengsi” yang tidak tepat di kalangan masyarakat Lamakera. Masyarakat Lamakera lebih memilih untuk berhutang agar dapat berpartisipasi dalam kegiatan adat dan suku. Adapun persoalan susulan berupa konflik dan sebagainya tidak dipikirkan, lebih-lebih menyangkut pendidikan anak-anaknya.        
Kadang-kadang karena alasan dan keinginan memenuhi tuntutan adat mengalahkan keinginan menginvestasikan dana untuk kepentingan pendidikan anak-anaknya. Alih-alih dapat menyekolahkan anak-anak, untuk memenuhi tuntutan adat tersebut tak jarang mereka harus meminjam dan berhutang.  Bahkan setelah kegiatan atau hajatan itu selesai mereka akan menghadapi problem baru, yakni memikirkan bagaimana melunasi hutang-hutang, sementara semua sumber dana sudah terkuras habis untuk memenuhi kepentingan adat tadi. Akibat lanjutan dari model relasi seperti ini adalah terjadi konflik ketika yang mempunyai piutang menagih haknya kepada yang berhutang. Bahkan konflik itu tidak jarang menimbulkan perkelahian secara fisik.
Uraian di atas menjelaskan suatu kenyataan bahwa sistem adat yang berlaku di Lamakera yang dijiwai oleh dasar pemikiran sosial kolektif (kebersamaan dan gotong royong) itu mengandung pula hal-hal negatif. Terasa bahwa segi-segi negatif itu sangat mempengaruhi usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Lamakera. Bahkan lebih dari itu, hal itu sangat berpengaruh terhadap upaya-upaya dalam mengembangkan SDM, melalui pendidikan.
Aspek lain dari sistem adat Lamakera yang kurang kondusif bagi pengembangan SDM Lamakera melalui bidang pendidikan adalah budaya pernikahan usia muda. Dalam sistem adat Lamakera diperbolehkan pernikahan atau perkawinan pada usia muda. Budaya ini dalam prakteknya kurang mendukung anak-anak Lamakera memperoleh kesempatan yang memadai untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Adat Lamakera membolehkan seseorang pemudi atau remaja perempuan = pemudi (kabarak) mendatangi keluarga pemuda atau remaja laki-laki = pemuda (kamamung) untuk menyerahkan diri dengan maksud supaya dinikahkan. Dalam istilah adat Lamakera disebut budaya palae rawwe.
Budaya ini menghendaki apabila seorang kabarak telah mendatangi keluarga kamamung untuk menyerahkan diri, maka harus segera diproses dan dinikahkan, tanpa mempertimbangkan apa motivasi dan latar belakang penyerahan diri itu. Apakah antara yang bersangkutan (kabarak) dengan kamamung yang didatangi itu sudah ada kesepakatan sebelumnya atau tidak? Apakah antara keduanya pernah dan telah terjalin hubungan percintaan (pacaran) atau tidak? Apakah hubungan percintaan (pacaran) itu masih terjalin atau tidak? Pertanyaan-pertanyaan ini bagi adat Lamakera (baca: orangtua-orangtua adat) tidak terlalu penting untuk diketahui dan dijawab.
Bagi adat Lamakera, yang penting apabila telah terjadi penyerahan diri (palae nawwe) seorang kabarak kepada seorang kamamung, maka harus segera diproses dan dinikahkan, tanpa perlu mengetahui apa motivasi di balik itu, atau bagaimana usia kedua pasangan itu, apakah masih dalam usia muda (baca: usia sekolah) atau tidak? Inilah kondisi obyektif dari sistem adat Lamakera sampai hari ini. Proses dan akibat yang sama juga akan diterima oleh seorang kamamung apabila menyerahkan diri kepada keluarga kabarak. Cerita yang sama juga berlaku apabila dipergoki seorang kamamung dan kabarak yang sedang memadu kasih (pacaran) pada suatu tempat tertentu tanpa didampingi oleh orang ketiga. Bila terjadi dan diketahui maka akan segera diproses dan dinikahkan. Kebiasaan-kebiasaan itu merupakan faktor-faktor yang turut menghambat pengembangan SDM, yang pada akhirnya berpengaruh pula pada perkembangan dan kemajuan Lamakera.
Hal lain yang turut memberikan andil dalam memperlambat geliat Lamakera mengikuti proses perubahan melalui pengembangan SDM adalah pola pikir masyarakat yang cenderung pragmatis. Pola pikir pragmatis tersebut dapat dimaklumi mengingat mereka hidup dalam sebuah sistem adat yang kurang memberi ruang gerak dan penghargaan bagi pengembangan kreatifitas dan kerja yang bersifat personal. Sehingga hal itu berpengaruh pula kepada etos kerja.[3]
Pola pikir pragmatis, adalah pola pikir yang cenderung menekankan pada apa yang bisa dimanfaatkan hari ini dibandingkan bagaimana memikirkan dampak sosial ekonomi jangka panjang. Karena itulah sampai hari ini pembakaran hutan (bukit) dan penangkapan ikan dengan bahan peledak (bom) masih saja berlangsung. Padahal apabila ditelaah secara mendalam dan komprehensif, dengan menggunakan kedua cara itu hanya memberikan manfaat sangat sedikit dan sementara, bila dibandingkan dengan kerusakan lingkungan dalam jangka panjang.
Ambil contoh, penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom). Mungkin untuk sementara dari segi jumlah (kuantitas) dan waktu, hasil yang diperoleh cukup banyak, akan tetapi bom atau bahan peledak tersebut, dengan kekuatan yang dimilikinya di samping menimbulkan efek terhadap kematian ikan (dengan demikian hasil tangkapan ikan bisa dalam jumlah banyak), turut pula mematikan telur-telur ikan yang menjadi embrio (bakal) ikan yang menjadi sumber penghasilan. Bahkan lebih jauh dari itu dapat merusak terumbu karang-terumbu karang yang menjadi habitat utama dari ikan, dan jenis-jenis ekosistem lainnya. Sementara dengan halnya pembakaran hutan (bukit), setali tiga uang. Sama-sama menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah dalam jangka panjang, yakni membuat tanah pertanian menjadi tandus (sehingga tidak dapat lagi berproduksi secara optimal), menimbulkan erosi, dan banjir. Semua ini memakan ongkos sosial (social cost) yang sangat besar bagi generasi pelanjut. Hal itu sudah terbukti sekarang, yakni air-air sumur di Lamakera tidak lagi terasa tawar dan enak, melainkan terasa payau dan asin akibat intrusi air laut ke darat, karena tidak ada lagi tanaman atau tumbuhan yang menjadi filter (penyaring). Begitu pula dengan kekayaan laut Lamakera tidak lagi menjanjikan, semakin sulit nelayan-nelayan Lamakera menggantungkan harapan untuk menangkap ikan dan hasil lainnya yang dapat menopang hidup dan pendidikan anak-anaknya kelak.
Masih ada budaya lain dari adat Lamakera yang kurang mendukung proses pengembangan SDM adalah  kebiasaan dan ketidakikhlasan untuk melihat orang lain berhasil dan sukses. Ada-ada saja upaya yang dilakukan untuk menghambat seseorang supaya tidak berhasil dan sukses dalam hidupnya.  Budaya “meggunting dalam lipatan, menjegal kawan seiring”, seakan-akan menjadi sesuatu yang dianggap lumrah. Tidak seperti komunitas lainnya, yang saling bergandengan tangan dan mendukung satu sama lain untuk maju bersama dan berhasil dalam membina karier dan meraih masa depan. Faktanya dapat ditelusuri melalui jejak pengabdian di lembaga-lembaga pemerintahan maupun bidang-bidang sosial politik. Hampir bisa dipastikan sangat sulit menemukan orang Lamakera sekarang yang mempunyai posisi dan peran yang penting di lembaga pemerintahan, sosial politik, dan lain-lain untuk konteks NTT umumnya maupun Flores Timur khususnya. Kalaupun ada, itupun hanya pada posisi dan mempunyai peran yang sangat kecil (tidak signifikan), -kalau tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali- dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah buat pembangunan Lamakera. Sehingga sangat wajar, untuk menyebutkan salah satu contoh konkrit, dalam rentang waktu hampir 64 tahun Indoensia merdeka, Lamakera baru menikmati penerangan listrik (PLN) pada emopat tahun terakhir.
Faktor lainnya adalah keengganan dari generasi tua untuk memberikan estafet kepemimpinan dan kesempatan kepada generasi muda (intelektual) Lamakera untuk melakukan transformasi sosial budaya. Keengganan ini mungkin disebabkan karena kekhawatiran dari generasi tua, bahwa akan tersaingi dan terpinggirkan (termarjinalisasi) peran dan fungsi mereka sebagai tokoh-tokoh masyarakat Lamakera dalam menjaga dan mempertahankan keberlangsungan sistem adat dan pranata adat lainnya, serta kedudukan sosial mereka dalam masyarakat. Hal ini bukan saja dialami generasi tua Lamakera yang berada di Lamakera saja, tetapi parahnya diidap pula oleh orangtua-orangtua Lamakera yang selama ini berkecimpung di bidang pemerintahan, khususnya di ibukota propinsi NTT. Bahkan sampai mereka memasuki usia pensiun, sangat sedikit (hampir bisa dihitung dengan jari) intelektual muda Lamakera yang dipersiapkan untuk menggantikan peran dan fungsi mereka. Itupun hanya dari kelompok-kelompok tertentu saja, karena pengaruh pola pikir sektarian dan primordial.         
Meskipun sistem adat Lamakera nampak seperti memiliki banyak kekurangan, penulis juga berpendapat bahwa sistem adat yang sedang berlaku itu juga memiliki banyak kelebihan. Salah satu kelebihan itu adalah pada aspek rasa kebersamaan (setia kawan) dan sifat gotong-royong. Dari sistem adat yang cenderung memobilisasi (mengerahkan) masyarakat secara massif (besar-besaran) itu terdapat sebuah nilai yang sungguh sangat mulia, yakni kebersamaan dan gotong-royong. Namun sayangnya, nilai kebersamaan dan gotong royong ini dalam kenyataannya dipraktekkan secara keliru sehingga lebih banyak menimbulkan efek negatif dibandingkan manfaatnya, seperti sudah diuraikan di atas.
Kesempatan Memperoleh Pendidikan bagi  Warga Lamakera
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tanggung jawab Pemerintah Negara Indonesia. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan secara ekplisit bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.[4]
Sistem Pendidikan Nasional yang diselenggarakan itu harus berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 2 dan 3).[5] Karena itu dalam mewujudkan tujuan tersebut Pemerintah perlu dan wajib membentuk dan menyediakan suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seluruh warga bangsa memiliki akses yang sama dalam memperoleh pendidikan yang layak.
Akan tetapi, karena kemampuan pemerintah juga masih sangat terbatas sehingga belum dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara, termasuk warga Lamakera. Selama hampir 64 tahun Indonesia merdeka, pemerintah belum dapat menyediakan pendidikan yang murah dan bermutu bagi seluruh warga negara. Bahkan ada gejala pada tahun-tahun terakhir lembaga pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu itu hanya untuk orang-orang yang berduit saja, sedangkan masyarakat ekonomi menengah ke bawah hanya dapat menikmati pendidikan yang serba pas-pasan, karena itu konsekuensinya kompetensi merekapun pas-pasan pula.
Kondisi demikian berlaku pula di Lamakera. Lebih dari 30 tahun Orde Baru berkuasa, di Lamakera hanya terdapat tiga buah pendidikan dasar, yakni dua buah sekolah dasar negeri SD Inpres Watobuku dan SD Negeri Lamakera) dan satu sekolah ibtidaiyah (MIS Tarbiyah Lamakera) yang dikelola swasta, dan hanya satu sekolah lanjutan tingkat pertama, itupun berbasis agama, yakni Madrasah Tsanawiyah, yang pada enam tahun terakhir sudah diambil alih oleh pemerintah menjadi sekolah negeri. Belum terdapat sekolah umum, baik sekolah lanjutan  tingkat pertama berupa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri, apalagi Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA) sehingga setelah menyelesaikan pendidikan dasar, sebagian besar anak-anak Lamakera (termasuk penulis) harus keluar dari Lamakera yang ingin dan untuk melanjutkan pendidikan  ke sekolah umum. Kesempatan inipun hanya diperoleh anak-anak yang mempunyai orangtua yang beruntung atau orangtua yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap masa depan anak-anaknya. Warga Lamakera sudah mulai melek terhadap manfaat pendidikan sebagai modal dan investasi berharga bagi masa depan anak-anaknya kelak. Warga Lamakera sudah mulai berani melepaskan (mengirimkan) anak-anaknya ke daerah-daerah yang mereka percaya dapat memberikan pendidikan yang bermutu bagi anak-anak mereka. Hambatan yang mereka hadapi adalah bagaimana menyediakan dana untuk membiayai pendidikan anak-anaknya itu sementara tuntutan adat juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Tetapi tuntutan adat itu pada beberapa dasawarsa terakhir tidaklah menjadi kendala berarti seiring dengan dinamika dan keterbukaan yang sudah mulai berhembus masuk ke Lamakera.
Pada satu sampai dua dasawarsa (10 – 20 tahun) terakhir perkembangan dan kesempatan  memperoleh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi bagi warga Lamakera (Motonwutun dan Watobuku) sungguh sangat menggembirakan. Presentase anak-anak Lamakera yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi setiap tahun terus meningkat (bertambah). Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin meratanya persebaran anak-anak Lamakera dari semua lapisan masyarakat telah memperoleh pendidikan yang layak, mulai dari tingkat yang paling rendah (Sekolah Dasar (SD)) sampai tingkat sarjana (S1) bahkan sudah ada yang bergelar Magister (S2). Dengan begitu pertambahan kaum terdidik Lamakera semakin meningkat secara signifikan. Setiap tahun hampir bisa dipastikan ada anak-anak Lamakera menyelesaikan pendidikan di jenjang perguruan tinggi yang ditandai dengan wisuda sarjana. Kenyataan ini sangat langkah ditemukan pada dua sampai tiga dasawarsa yang lalu.
Kondisi itu juga menggambarkan kenyataan lain bahwa tingkat kesadaran masyarakat Lamakera terhadap pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya  semakin meningkat. Masyarakat Lamakera semakin menyadari bahwa pendidikan merupakan investasi paling berharga bagi masa depan anak-anaknya. Dengan begitu mereka sudah mulai memikirkan menyisihkan sebagian dari sumber dana untuk investasi pendidikan bagi anak-anaknya. Walaupun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak oangtua Lamakera yang menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (tingkat sarjana) itu dengan harapan agar kelak dapat memperoleh pekerjaan yang layak, khususnya menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Bahkan masih kuat anggapan di sebagian orangtua Lamakare bahwa pendidikan (tinggi) itu identik dengan pegawai negeri. Sehingga ketika seseorang warga Lamakera yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi (sarjana) tetapi belum memperoleh pekerjaan dan berprofesi sebagai PNS, maka mendapat penilaian yang kurang simpatik dari masyarakat. Padahal profesi pegawai negeri sipil (PNS) itu hanya merupakan salah satu profesi dari berbagai profesi yang lain. Muncul kemudian pernyataan sinis, “untuk apa membuang-buang uang yang banyak untuk menyekolahkan anak-anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, jika kemudian setelah menyelesaikan pendidikannya, mereka tidak bisa menunjukkan kemampuannya untuk bersaing dalam perekrutan menjadi PNS?” Mudah-mudahan pernyataan ini tidak bersifat pesimistik dan putus asa sehingga dapat mempengaruhi semangat yang dapat menurunkan motivasi orangtua-orangtua Lamakera lainnya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Mereka tidak menyadari bahwa di samping formasi untuk diangkat menjadi PNS itu sangat terbatas, juga banyak faktor yang mempengaruhi dalam memperoleh peluang kerja. Inilah kenyataan ironis yang harus dihadapi oleh kaum terdidik Lamakera setelah menyelesaikan pendidikannya.        
Persoalannya adalah bagaimana seseorang ketika dalam proses pendidikan itu belajar sebaik-baiknya agar dapat meningkatkan kualitas intelektual, moral dan sosialnya, sehingga memungkinkan mempunyai akses yang lebih besar dalam persaingan mendapat peluang kerja. Karena harus disadari bahwa ke depan persaingan untuk mendapatkan peluang kerja semakin kompetitif. Orientasi dunia kerja pada masa-masa yang akan datang tidak lagi melihat kualifikasi berdasarkan jenjang pendidikan (ijazah) seseorang tetapi cenderung ke arah kompetensi personal. 
Seiring dengan berjalannya waktu dan pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi,  masyarakat dan sistem adat Lamakera lambat laun sudah mulai berubah ke arah yang positif. Semakin terasa di kalangan warga Lamakera untuk mulai memikirkan pentingnya mempersiapkan anak-anaknya agar kelak dapat hidup mandiri dan bersaing. Langkah paling strategis untuk mempersiapkan generasi Lamakera agar dapat bersaing dalam era yang semakin kompetitif seperti sekarang ini adalah melalui pendidikan. Sehingga tidak asing lagi kita temukan penyebaran warga Lamakera dalam lapangan pengabdian dengan kualifikasi dan tingkat pendidikan semakin merata. Ada yang berkiprah di bidang pendidikan, pemerintahan, dan sosial politik, dan lain-lain.
Perkembangan dan Pembangunan Lamakera
Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dinafikkan (dipungkiri) bahwa sampai saat ini belum terlihat perkembangan dan perubahan signifikan (berarti/bermakna) dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Lamakera. Sebagai indikator dapat disebutkan contoh seperti tingkat kesejahteraan hidup warga Lamakera masih pas-pasan, kalau tidak mau dikatakan di bawah standar hidup layak (di bawah garis kemiskinan). Hal ini bukan tanpa sebab. Padahal dilihat dari segi sumber daya manusia (SDM) telah cukup banyak mengalami transformasi melalui proses pendidikan, bahkan telah diakui sejak lama oleh masyarakat di luar Lamakera. Tetapi mengapa dengan potensi SDM seperti itu tidak dapat berbuat banyak bagi kemajuan Lamakera? Pertanyaan ini sebenarnya bersifat retoris, ingin mengajak kita sebagai “anak Lewotanah”  (lewotanah berarti tempat kelahiran, karena itu “lewotanah” bisa berarti anak bangsa) untuk memikirkan dan memperbarui kembali komitmen kita dalam memajukan Lamakera sebagai sebuah entitas sosial dari Republik ini.
Sampai hari ini Lamakera masih menunjukkan perkembangan berarti, terutama dalam hal sumber tenaga listrik. Padahal disadari bahwa sumber tenaga listrik memegang peranan yang cukup vital dalam menggerakkan roda perekonomian suatu daerah. Kenyataan ini sebenarnya tidak terlepas dari faktor politik dan idelogis. Tetapi seharusnya hal itu tidak menjadi hambatan dan menutup peluang bagi kaum terdidik (intelektual) Lamakera untuk terus berkpirah dan memikirkan bagaimana dapat melakukan sesuatu demi kemajuan Lamakera.
Seperti pertanyaan retoris di atas, maka setelah penulis mencoba meneleaah dan mengkaji secara seksama, baik dari segi akademis maupun sosiologis, penulis berpendapat bahwa simpul penyebab – meski ini masih bersifat hipotetis – tentang kondisi sosial ekonomi Lamakera yang sampai hari ini hampir tidak ada tanda-tanda perubahan. Menurut penulis salah satu faktor penyebabnya adalah masih tetap dipertahankannya sistem adat yang cenderung ingin mempertahankan status quo demi sebuah kemapanan (established). Padahal disadari sepenuhnya oleh masyarakat Lamakera bahwa sistem adat yang sedang berlangsung di Lamakera cukup menguras energi dan sumber daya hanya untuk kegiatan bersifat temporer (sesaat) demi mengejar gengsi. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa sistem adat yang ada sekarang cenderung konservatif dan bergaya feodalistik.
Mengapa demikian? Karena sumber daya yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dan investasi masa depan dalam rangka pengembangan SDM melalui pendidikan terkuras habis untuk melanggengkan kemapanan melalui pelaksanaan acara seremonial, mengingat konvensi adat sudah menggariskan demikian. Hal ini lebih diperparah lagi dengan kehadiran tokoh-tokoh masyarakat yang walaupun sudah mengalami pencerahan secara intelektual dan akademis melalui proses pendidikan terus dan ingin mencoba mempertahankan status quo dengan mempraktekkan adat-istiadat yang bergaya feodalistik itu dalam kehidupan sehari-hari. Lebih celaka lagi ada oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan kesempatan (ketidaktahuan) masyarakat Lamakera untuk mempertahankan hegemoni (pengaruh) sosialnya dengan dalih alasan historis.
Dengan demikian sudah saatnya perlu kita pikirkan suatu model sistem adat yang lebih terbuka (dalam arti tidak feodalistik) dan responsif seiring dengan dinamika sosial yang sedang berlangsung. Perlu menyatukan visi dan misi dari semua kalangan dan potensi SDM yang memiliki latar belakang disiplin ilmu untuk duduk bersama merumuskan sebuah model sistem adat yang lebih responsif dan kondusif bagi perkembangan dan kemajuan Lamakera, serta ramah lingkungan.
Perubahan yang hendak dilakukan itu tidak perlu secara radikal-revolusioner, akan tetapi secara evolusioner dengan jalan memodifikasi sistem adat yang sedang berlaku secara bertahap dan perlahan (gradual). Mana yang dianggap kurang dan tidak menguntungkan, kita tinggalkan, tetapi yang bermanfaat kita pertahankan dan sempurnakan.  
Epilog
Catatan dalam makalah ini merupakan refleksi pribadi dan pengamatan penulis (sebagai putra asli Lamakera) menyangkut kondisi sosial-budaya dan bagaimana implikasinya terhadap perkembangan dan kemajuan Lamakera. Melihat kondisi Lamakera seperti sudah tergambar dalam uraian makalah ini, sebagai anak Lewotanah, kita harus yakin bahwa kita mampu melakukan dan memberikan yang terbaik untuk perkembangan dan kemajuan Lamakera. Potensi kaum terdidik (intelektual  muda) Lamakera sudah cukup memadai, yang tersebar dalam berbagai profesi, seperti guru, dai, ulama, pegawai, politisi, pengusaha, dan lain-lain bahkan ada yang menjadi anggota legislatif. Sayangnya semua potensi itu belum termanfaatkan (diberdayakan) secara baik dan optimal. Menurut penulis, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1.       Belum ada wadah sebagai forum komunikasi yang cukup representatif untuk mempersatukan semua potensi SDM terdidik Lamakera untuk saling menukar informasi dan mengembangkan ide.
2.       Masih terdapat perbedaan pandangan (visi) di kalangan SDM terdidik Lamakera tentang bagaimana konsep blueprint (cetak biru) untuk memajukan dan membangun (pembangunan) Lamakera.
3.       Belum ada pemetaan yang jelas terhadap SDM terdidik Lamakera dan apa potensi masing-masing, serta bagaimana memberikan kontribusi bagi pembangunan Lamakera.
4.       Belum ada pemetaan terhadap potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan menjadi sebuah komoditas ekonomi yang bernilai jual.
5.       Belum ada atau tercipta jaringan (networking) yang kuat sebagai sarana untuk mendapat akses dalam proses tawar dengan pihak pengambil keputusan.
6.       Pada sebagian kaum terdidik Lamakera masih memiliki cara berpikir parsial-segmental (primordial), tidak lintas sektoral dan komprehensif, serta masih terikat pada norma dan sistem adat yang berlaku, sehingga masih lebih menonjolkan identitas suku.
Dari semua uraian di atas dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut :
1.       Program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan akan memberi manfaat pada peningkatan produktivitas ekonomi, moral, efisiensi, efektivitas, dan stabilitas pembangunan suatu daerah.
2.       Pengembangan SDM adalah proses sepanjang hayat untuk meningkatkan kompetensi personal, baik dari segi kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan) yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan untuk melakukan perubahan dan transformasi.
3.       Pengembangan SDM Lamakera yang ditandai dengan perkembangan dan kesempatan memperoleh pendidikan bagi warga Lamakera sangat dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya, yakni sistem adat yang ada. Hal ini bukanlah berarti bahwa sistem adat yang berlaku di Lamakera tidak memberikan kesempatan kepada warga Lamakera untuk memperoleh pendidikan yang layak, melainkan lebih pada faktor dana dan ekonomi masyarakat. Dengan kondisi seperti itu, terbukti pada satu sampai dua dasawarsa terakhir kesadaran dan perkembangan tingkat pendidikan warga Lamakera semakin meningkat.
4.       Disadari bahwa meskipun dengan potensi SDM yang semakin bertambah itu belum mampu secara signifikan berperan aktif dalam proses pembangunan di Lamakera. Lamakera yang kita kenal hari ini masih seperti Lamkera pada 10 s.d. 20 tahun yang lalu. Pertanyaannya adalah, “apakah ada kemauan kita sebagai kaum terdidik Lamakera untuk memikirkan dan mau melakukan sesuatu untuk membangun Lamakera, tanpa harus melibatkan pretensi dan tendensi dan menghilangkan sekat-sekat suku dan perasaan-perasaan primordial lainnya?”
Daftar Bacaan
Kornelis Bria, “Etos Kerja dan Pembangunan Masyarakat NTT”, dalam Alo Liliweri dan Gregor Neonbasu (Penyunting). 1994. Prespektif Pembangunan: Dinamika dan Tantangan Pembangunan Nusa Tenggara Timur. Kupang: Yayasan Citra Insan Pembaru.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.


[1]Kornelis Bria, “Etos Kerja dan Pembangunan Masyarakat NTT”, dalam Alo Liliweri dan Gregor Neonbasu. 1994. Prespektif Pembangunan: Dinamika dan Tantangan Pembangunan Nusa Tenggara Timur. Kupang: Yayasan Citra Insan Pembaru, h. 281.

[2]Ibid.,
[3] Mengenai etos kerja masyarakat Flores Timur, termasuk Lamakera baca lebih lanjut Kornelis Bria, dalam Alo Liliweri, ibid.,
[4]Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

[5]Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar