Entri Populer

Jumat, 14 Januari 2011

GERAKAN REFORMASI DI INDONESIA

GERAKAN REFORMASI DI INDONESIA:
Sebuah Perubnahan Sosial?

Oleh : Nurdin Taher


A.       Pendahuluan
Kehidupan sosial adalah kehidupan yang bersifat dinamis, selalu berubah, dan dengan demikian tidaklah statis. Seperti juga halnya sebuah entitas masyarakat dalam suatu komunitas, senantiasa bergerak, berevolusi, dan berubah menuju ke arah kesempurnaan. Piotr Sztompka, menyatakan “masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya” (2008:65). Walaupun dalam rangka menuju perubahan ke arah kesempurnaan itu pasti juga membawa dampak terhadap semua tatanan atau sistem sosial yang selama ini dianut dan dipertahankan. Hal itu merupakan hubungan kausalitas, hubungan sebab akibat yang saling terkait. Artinya apa yang terjadi dengan masyarakat dewasa ini (masa kini) merupakan proses perkembangan dari masyarakat pada masa lalu. Sebagaimana dijelaskan oleh Sztompka, bahwa masyarakat ada setiap saat dari masa lalu ke masa mendatang. Kehadirannya justru melalui fase antara apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Dalam masyarakat kini terkandung pengaruh, bebas, dan jiplakan masa lalu serta bibit dan potensi untuk masa depan. Sifat berprosesnya masyarakat secara tersirat berarti bahwa fase sebelumnya berhubungan sebab akibat dengan fase kini dan fase kini merupakan persyaratan sebab akibat yang menentukan fase berikutnya (2008:65).
Sebagaimana halnya dengan masyarakat, negara yang merupakan kumpulan orang-orang juga mengalami dinamika pada suatu fase atau masa (era) tertentu. Perubahan atau dinamika yang terjadi pada suatu komunitas akan membawa perubahan pada kondisi sosial ekonomi dan politik pada suatu negara. Begitu pula halnya dengan kehidupan sosial ekonomi dan politik di Indonesia.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa menjelang akhir tahun 1997 Indonesia mengalami krisis multidimensi, yakni krisis ekonomi dan moneter sebagai dampak dari krisis yang melanda pada hampir semua negara di dunia. Sebagai bagian warga dunia, Indonesia juga merasakan krisis ekonomi pada waktu itu. Pada saat bersamaan terjadi krisis sosial dan politik sebagai dampak dari krisis ekonomi dan moneter. Rezim Orde Baru yang dikomandoi oleh Presiden Soeharto mendapat tantangan yang serius dari gerakan-gerakan prodemokrasi yang menuntut pergantian (suksesi) kepemimpinan nasional.
Gerakan-gerakan prodemokrasi yang selama tiga dekade mengalami mati suri karena dibungkam dan dikebiri oleh pemerintahan Orde Baru menemukan momentum kebebasan untuk memperjuangkan hak-hak sosial dan politik untuk memperkuat civil society (masyarakat madani). Terjadi demonstrasi di seluruh pelosok negeri yang melibatkan semua elemen bangsa mendesak Presiden Soeharto mundur dari kekuasaan politiknya yang selama 32 tahun dikangkangi secara tidak demokratis. Dalam kondisi demikian pada tanggal 12 Mei 1998 terjadi kerusuhan massal di ibukota negara yang mencemarkan citra Indonesia di mata dunia.
Menghadapi kondisi yang tidak terkendali itu pertahanan Presiden Soeharto menjadi goyah, maka puncaknya pada tanggal 21 Mei 1998, memaksa rezim Soeharto dengan era Orde Baru-nya harus rela meninggalkan panggung politik,  lengser dan menyerahkan tongkat kepemimpinan nasional ke tangan Wakil Presiden waktu itu, B. J. Habibie.
Tumbangnya rezim Soeharto, memberikan jalan bagi lahirnya sebuah era “pencerahan”, yang belakangan kita kenal dengan nama era Reformasi. Lahirnya era Reformasi menancapkan tonggak baru kehidupan sosial politik di tanah air. Hampir seluruh anak bangsa menyambut dengan rasa suka cita lahirnya era Reformasi. Semua komponen anak bangsa kemudian merasa terpanggil untuk secara bersama-sama memberikan kontribusi bagi perubahan kehidupan kebangsaan dalam rangka menuju peningkatan kesejahteraan nasional.
B.     Studi Perubahan Sosial pada Gerakan Reformasi di Indonesia
Proses peralihan atau transformasi sosial politik di Indonesia dari era Orde Baru ke era Reformasi menunjukkan proses perubahan sosial. Proses perubahan sosial melalui gerakan reformasi yang kemudian melahirkan era Reformasi ini telah membawa perubahan yang cukup signifikan dalam proses demokratisasi dalam kehidupan kebangsaan nasional.
Gerakan reformasi yang dimotori oleh para mahasiswa telah melahirkan transformasi sosial politik di Indonesia menunjukkan suatu gejala perubahan yang berkelanjutan dari era-era sebelumnya, yakni era Orde Lama, kemudian ke era Orde Baru, dan sekarang masuk ke era Reformasi. Karena itu, bentuk studi yang tepat untuk mempelajari perubahan-perubahan sosial yang pernah terjadi di Indonesia, mulai dari era Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi adalah studi diakhronik (riset diakhronik). Studi diakhronik sangat memperhatikan rentetan waktu dan memusatkan perhatian pada perubahan sosial yang sedang terjadi (Sztompka, 2008:2). Bentuk studi ini mewarisi pemikiran Comte, Spencer, dan sosiolog abad ke-19 lainnya.
C.     Definisi Perubahan Sosial dalam Kaitannya dengan Gerakan Reformasi
Sesungguhnya banyak terjadi perubahan pada berbagai aspek kehidupan di Indonesia, mulai dari aspek ekonomi, sosial politik, budaya, dan kehidupan demokrasi setelah bergulirnya gerakan reformasi. Perubahan tersebut menggambarkan telah terjadi proses perubahan sosial melalui transformasi tatanan kehidupan bersama.
Gerakan bersama oleh anggota komunitas apabila dilandasi oleh kepentingan dan tujuan yang sama maka dapat melahirkan suatu tata kehidupan baru. Menurut Herbert Bloomer (1955) perubahan sosial adalah usaha kolekif untuk menegakkan tata kehidupan baru.  Sebut saja gerakan mahasiswa dan masyarakat Indonesia yang terjadi pada tahun 1998 yang kemudian melahirkan era Reformasi menandakan telah terjadi perubahan sosial dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Sejalan dengan itu, Ralp Tunner & Lewis M. Killin (1962) memberikan definisi perubahan sosial sebagai kolektivitas yang bertindak terus-menerus guna meningkatkan perubahan dalam masyarakat atau kelompok.
Gerakan mahasiswa dan kelompok-kelompok prodemokrasi yang menemukan momentumnya pada tahun 1998 dan melahirkan era Reformasi sebenarnya telah berlangsung lama dan dilakukan secara terus-menerus. Semua gerakan prodemokrasi tersebut bertujuan untuk melakukan perubahan secara menyeluruh terhadap tatanan kehidupan kebangsaan yang selama pemerintahan Orde Baru mengalami marginalisasi. Perubahan tatanan kehidupan kebangsaan setelah gerakan reformasi, baik perubahan pada aspek pengelolaan ekonomi, pengelolaan sistem sosial politik, pengelolaan kepemerintahan, dan aspek-aspek lainnya menunjukkan suatu gejala perubahan pada struktur dan fungsi masyarakat. Menurut Kingsley Davis, perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat (dalam Soerjono Soekanto, 2009:262). Sedangkan menurut Wood & Jackson (1982:43-44) seperti dikutip Sztompka (2008:326), bahwa perubahan sosial adalah basis yang menentukan cirri-ciri gerakan sosial. Gerakan sosial berkaitan erat dengan perubahan sosial. Gerakan sosial dilihat sebagai mediator dalam rangkaian penyebab perubahan sosial. Gerakan sosial dilihat sebagai produk perubahan sosial terdahulu dan sebagai produsen (sekurang-kurang ko-produsen) transformasi sosial selanjutnya  (Sztompka 2008:327).
Pada era Reformasi sekarang ini, posisi antara masyarakat dan negara semakin berimbang, tidak lagi salah satu mendominasi yang lain. Jika pada era Orde Baru negara begitu dominan menguasai dan mengatur semua aspek yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat (warga negara), maka pada era Reformasi ini masyarakat sebagai warga negara sudah dapat turut serta menentukan jalannya pemerintahan dan keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara. Sebagai misal, setelah gerakan reformasi, masyarakat (warga negara) sudah dapat menentukan pemimpinya sendiri melalui pemilu legislatif, pemilihan presiden, dan kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) secara langsung. Kondisi demikian hampir mustahil dapat terwujud selama rezim Orde Baru berkuasa 32 tahun.
Meskipun demikian, kita juga tidak harus menutup mata terhadap ekses negatif dari gerakan reformasi. Sebut saja pemberlakuan otonomi daerah secara tidak langsung telah memunculkan raja-raja baru di daerah. Di samping itu, dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), Gubernur, Bupati/Walikota menimbulkan pula konflik horizontal antara para pendukung calon. Bahkan banyak pihak mensnyalir bahwa pada era Reformasi ini, korupsi bukannya berkurang malah semakin beranak pinak. Padahal salah satu tujuan gerakan reformasi adalah memberantas budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
D.    Arah Perubahan Sosial dalam Gerakan Reformasi
Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Soeharto dan menggantikan era Orde Baru dengan era Reformasi telah membawa perubahan dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. Sejalan dengan itu, Piotr Sztompka (2008:3) menyatakan bahwa perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan.
Pada era Orde Baru ketika Soeharto berkuasa kehidupan dan dinamika sosial politik di Indonesia sangat monoton dan terkesan rigid (kaku). Semua pranata-pranata sosial politik yang dibentuk untuk memberdayakan anak bangsa cenderung dikebiri secara terencana dan dikontrol secara ketat. Hingga pada batas-batas tertentu kehadiran suatu pranata sosial politik tidak cukup memancarkan magnitude dan daya tarik bagi kesadaran anak bangsa untuk terlibat secara aktif memberikan artikulasi dan menggerakkan proses perubahan bagi kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gerakan reformasi telah membawa perubahan yang cukup signifikan ke arah perbaikan sistem ekonomi, sosial, politik, dan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Perubahan yang terjadi akibat gerakan reformasi dalam sistem kehidupan kebangsaan Indonesia menunjukkan arah perubahan yang bersifat linier, bergerak maju dari satu era sebelumnya ke era baru yang lebih baik (perubahan progresif). Gerakan reformasi telah membawa perubahan dan perbaikan yang cukup signifikan dalam pengelolaan tatanan kehidupan kebangsaan Indonesia.
Meskipun demikian, terjadi  pula banyak anomali dari gerakan reformasi yang menumbanghkan rezim Orde Baru dan mengubahnya menjadi era Reformasi ini. Harus diakui bahwa gerakan reformasi juga membawa perubahan yang “merugikan”. Misalnya, perubahan sistem pemilihan langsung kepala daerah, di satu sisi telah memberi ruang yang cukup bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif memilih dan menentukan calon pemimpinnya, tetapi di sisi lain menimbulkan gesekan-gesekan yang mengarah pada konflik horizontal (konflik antarmasyarakat). Kondisi demikian membuat sebagian kalangan menilai bahwa reformasi telah kebablasan. Pada sisi ini kita dapat mengatakan bahwa di samping arah perubahan dari gerakan reformasi bersifat progres, tetapi mengandung pula sifat regres.  Tentu saja, semua kekurangan dan kelemahan itu menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa agar secara bersama bahu membahu menutupi dan memperbaiki.
E.     Bentuk Perubahan Sosial dalam Gerakan Reformasi
Kehadiran era reformasi telah membuka jalan bagi semua komponen bangsa melakukan inovasi-inovasi melalui inisiasi secara produktif demi perbaikan dan perubahan kehidupan sosial politik di tanah air. Hal itu dapat dilihat dari kerja kreatif melalui eksperimen para anggota parlemen (MPR) melakukan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.  Kondisi tersebut hampir menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan pada saat rezim Soeharto berkuasa. UUD 1945 pada era Orde Baru ibarat kitab suci yang tidak boleh diutak-atik. Sztompka (2008:5) menyatakan bahwa semua tiran dan diktator hanya mampu menutup-nutupi ketidaksenangan publik hingga batas tertentu dan kemerosotan kekuasaan mereka lambat laun tanpa terelakkan membuka pintu bagi demokrasi.
Amandemen UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan gerakan reformasi, yang memuat agenda reformasi, yaitu perubahan UUD 1945, penghapusan Dwi Fungsi ABRI, penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah), mewujudkan kebebasan pers dan kehidupan demokrasi (http://www.docstoc.com/docs/26591702/Menggugat-Per-ubahan-UUD-1945).
 Proses amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa perubahan yang cukup mendasar bagi kehidupan demokratisasi di Indonesia. Dengan amandemen UUD 1945 terjadi perubahan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Misalnya, melalui amademen UUD 1945 sehingga terjadi pemisahan jabatan Ketua MPR dan DPR yang dijabat oleh orang yang berbeda,  yang sebelumnya hanya dijabat oleh satu orang, di mana sebagai Ketua DPR sekaligus juga sebagai Ketua MPR. Selain itu, terjadi perubahan yang membawa angin demokratisasi semakin kencang berhembus adalah dibolehkannya pembentukkan partai-partai politik baru (sistem multipartai), yang di masa Orde Baru sangat diharamkan, hanya tiga partai saja yang diijinkan, dan pelaksanaan pemilu dengan memilih anggota legislative dan anggota DPD secara langsung. Kemudian diikuti pula dengan pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung. Hal itu dapat dilihat ketika pemilihan umum pada tahun 1999 yang diikuti puluhan partai politik. Meskipun kemudian melalui seleksi alam partai-partai politik tersebut kemudian gugur secara alamiah satu demi satu. Kondisi tersebut telah memberikan kesempatan kepada seluruh anak bangsa mengekspresikan kehendak sosial politiknya sesuai dengan keinginan untuk memberikan kontribusi langsung bagi pembangunan demokratisasi di Indonesia.
Dalam bidang pemerintahan terjadi pula perubahan-perubahan ke arah positif, lebih terbuka (transparan) dan akuntabel. Mulai diterapkan nilai-nilai transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan bidang kepemerintahan. Bersamaan dengan itu kemudian diterapkan otonomi daerah, pengelolaan bidang pemerintahan tidak lagi secara terpusat (sentralisasi) melainkan daerah diberi kewenangan untuk mengelola daerahnya secara mandiri dan bertanggung jawab (desentralisasi).
Untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi maka dibentuk pula lembaga-lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan masih banyak lagi lembaga sejenis. Bersamaan dengan itu semakin berkembang civil society (masyarakat madani). Lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) semakin tumbuh berkembang dalam rangka memberdayakan masyarakat dan memperkuat masyarakat sipil (masyarakat madani), yang memiliki kesempatan untuk memberi kontrol terhadap jalannya pemerintahan.
Bentuk-bentuk perubahan dari gerakan reformasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia seperti disebutkan di atas menunjukkan arah perubahan sosial pada pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu (Farley, 1990). Gerakan reformasi juga menunjukkan gejala perubahan sebagai modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat (Persell, 1987). Hal ini terlihat pada pembentukan partai-partai politik yang mencerminkan modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasi masyarakat, walau dalam kenyataannya banyak partai politik hanya bertujuan untuk memobilisasi massa untuk kepentingan jangka pendek.
Dalam arah perubahan pola perilaku (pola kelakuan), di mana terjadi perubahan yang sebelumnya bersifat paternalistik, pemimpin adalah orang yang harus dilayani, pada era Reformasi ini telah bergeser menjadi pemimpin adalah pelayan dan pengayom masyarakat. Masyarakat tidak lagi memperlakukan para pemimpin (tokoh) sebagai orang yang harus dituruti segala kemauannya, ”dulih tuanku”. Masyarakat seharusnya menempatkan diri pada posisi yang sejajar sebagai mitra pemimpin (pemerintah). Pola hubungan tidak lagi bersifat top down, tetapi sudah bergeser ke bentuk yang lebih demokratis, memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan dan memberdayakan diri secara kreatif melalui pola bottom up. Inisiatif diharapkan muncul dan berasal dari bawah (masyarakat), sedangkan pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator dan memberikan fasilitasi agar inisiatif itu dapat berkembang secara optimal.
F.     Paradigma Perubahan Sosial dalam Gerakan Reformasi
Gerakan reformaasi di Indonesia telah membawa perubahan yang cukup mendasar dalam kehidupan kebangsaan Indonesia, baik menyangkut kehidupan ekonomi, sosial politik, kehidupan keagamaan, dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Sebagai sebuah gerakan sosial, gerakan reformasi juga merupakan kekuatan perubah paling manjur dalam masyarakat kita (lihat Sztompka, 2008:322).  
Berdasarkan gejala-gejala atau ciri-ciri perubahan yang ditimbulkan dari gerakan reformasi, baik menyangkut perubahan sistem politik, sistem ketatanegaraan, maupun sistem ekonomi, dan sistem sosial budaya, maka paradigma perubahan dari gerakan reformasi di Indonesia ini merupakan paradigma kritik (critical paradigma) atau emancipator knowledge). Paradigma kritik menempatkan rakyat sebagai subyek utama perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai pusat proses perubahan dan penciptaan maupun pengontrolan pengetahuan mereka. Dari paradigma kritis ini maka lahir kesadaran kritis. Menurut Paulo Freire, kesadaran kritis  dalam perubahan sosial memberi ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada. 
Dalam kasus Indonesia pada perubahan dan pergantian rezim mulai dari rezim Orde Lama, Orde Baru, dan sekarang menjadi era Reformasi menujukkan peran besar yang telah dimainkan oleh para pemuda dan mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change). Dengan kekuatan ilmiah dan sikap kritis mereka telah memberikan kontribusi bagi kesadaran masyarakat untuk bangkit melakuan rekonstruksi sistem sosial politik yang penuh dengan ketidakadilan dan hegemoni negara  menjadi lebih transparan dan demokratis. Dengan kesadaran kritis sebagaimana yang dimaksud Paulo Freire, para mahasiswa telah memberi penyadaran kepada masyarakat untuk bangkit memperjuangkan dan memperoleh hak-hak politik dan sosialnya yang dikangkangi secara tidak adil selama Orde Baru berkuasa.  
G.    Teori Perubahan dalam Gerakan Reformasi
Banyak ahli sosiologi mengemukakan teori tentang perubahan sosial. Masing-masing mengemukakan teori berdasarkan sudut pandangnya sendiri-sendiri. Ada yang memandang berdasarkan ciri masyarakat sebagai sesuatu yang hidup (life). Menurut pendapat ini kajian utama perubahan sosial mestinya juga menyangkut keseluruhan aspek kehidupan masyarakat. Cara pandang demikian mengindikasikan bahwa perubahan sosial mengandung perubahan dalam tiga dimensi: struktural, kultural, dan interaksional (Mustain Mashud, dalam Narwoko dan Bagong Suyanto, 2007:362).
Dalam hal gerakan reformasi yang membawa transformasi pada berbagai aspek kehidupan nasional menunjukkan ciri perubahan dalam tiga dimensi struktural, kultural, dan interaksional. Secara struktural gerakan reformasi telah membawa perubahan pada tatanan sosial politik dan kepemerintahan, misalnya terjadi amandemen UUD 1945 yang telah membawa perubahan sistem pemerintahan yang sebelumnya bersifat sentralistik berubah ke arah desentralistik. Secara kultural telah membawa perubahan pada semakin berkembangnya demokrasi di Indonesia. Sedangkan dari segi interaksional, gerakan reformasi telah membawa perubahan pada pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pola hubungan tidak lagi bersifat paternalistic, melainkan lebih bersifat kemitraan.
Sesungguhnya gerakan reformasi di Indonesiaa tidak serta merta muncul begitu saja. Banyak faktor yang turut mempengaruhi dan mempercepat terjadi gerakan reformasi. Sekurang-kurangya ada dua faktor yang mendorong munculnya gerakan reformasi, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal sesungguhnya merupakan kesadaran subyektif akan suatu tata kehidupan yang lebih baik dan demokratis yang berasal dari diri sendiri (masyarakat Indonesia). Dengan kesadaran kritis yang diwakilili oleh mahasiswa sebagai agent of change, walau pada masa Orde Baru, kebebasan berpolitik dan berdemokrasi sangat dibatasi,  mereka melakukan ikhtiar perubahan secara terus menerus dengan melakukan identifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada pada masa Orde Baru berkuasa. Jadi inisiatif untuk melakukan perubahan itu berasal dari kesadaran kritis masyarakat. Menurut kaum humanis radikal, perlu menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada.
Sedangkan faktor eksternal merupakan fakror-faktor yang turut memberi pengaruh pada gerakan reformasi yang berasal dari luar. Dalam hal ini dapat disebut karena proses globalisasi dan modernisasi telah memberi kontribusi terhadap meningkatnya kesadaran krittis masyarakat. Modernitas cenderung memperluas jangkauannya terutama ruangnya dan inilah yang dimaksud proses globalisasi (Kumar, dalam Sztompka, 2008:86). Globalisasi diartikan sebagai proses yang menghasilkan dunia tunggal (Robertson, 1992), di mana masyarakat dunia menjadi saling tergantung di semua aspek kehidupan (politik, ekonomi, dan kultur) (dalam Sztompka, 2008:101). Karena modernisasi yang telah melahirkan  anak kandung globalisasi, proses menuju dunia tunggal, di mana antara satu negara dengan negara lainnya saling mempengaruhi, maka proses demokratisasi yang terjadi pada suatu negara berpengaruh pula pada negara lain, tak terkecuali negara Indonesia. Dari proses interaksi inilah maka melahirkan kesadaran kritis (Freire, 1970) warga bangsa untuk membandingkan kondisi sistem sosial politik, ekonomi, dan budaya bangsa lainnya. Pada proses selanjutnya mereka mengambil kesimpulan bahwa terjadi kesenjangan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga mendorong mereka untuk bangkit memperjuangkan hak-hak sosial dan politiknya melalui gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa.
H.    Penutup
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dipahami bahwa gerakan reformasi yang melahirkan era keterbukaan dewasa ini di dalam kehidupan sosial politik di Indonesia menunjukkan gejala perubahan sosial.
Mengamati proses reformasi yang sedang berjalan secara kritis perlu kita kemukakan bahwa di samping memberikan perubahan dan perbaikan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya secara signifikan, hal itu juga memberi implikasi negatif bagi perkembangan kehidupan demokrasi di masyarakat. Ternyata semakin demokratis kehidupan suatu bangsa tidak selalu diikuti (berbanding lurus = linier) dengan kematangan sikap demokratis. Pada banyak kasus pemilihan kepala daerah (pilkada) terjadi benturan-benturan yang mengarah pada konflik horizontal yang sangat mengancam persatuan dan kesatuan (integrasi) bangsa. Bahkan sikap anarkis dengan mudah diekspresikan untuk menunjukkan sikap penolakan. Selain itu, budaya money politics semakin tumbuh subur, hal mana sangat melecehkan suara rakyat yang sesungguhnya. Karena itu, penulis sependapat dengan beberapa kalangan yang mewacanakan peninjauan ulang terhadap pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung, untuk kembali seperti pola sebelumnya dipilih melalui lembaga perwakilan rakyat (DPR). Selain itu, eforia reformasi yang sangat berlebihan yang memanfaatkan era keterbukaan untuk melakukan kehendak sosial dan politik warga negara juga perlu dibatasi. Karena pada hakekatnya di dalam hak itu terkandung pula kewajiban. Beredarnya media pornografi dan pornoaksi di kalangan masyarakat dewasa ini dengan alasan demokrasi dan keterbukaan hanyalah alasan untuk mengeksploitasi selera rendah manusia demi estetika. Padahal pada saat yang bersamaan kita juga berkewajiban untuk turut serta menjaga moralitas anak bangsa. 
Daftar Bacaan

Mashud, Mustain, “Perubahan Sosial”, dalam Dwi Narwoko, J. dan Bagong Suyanto (ed.). 2007. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana.

Ritzer, Geoge dan Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Cet. Ke-4. Jakarta: Kencana.

Sanderson, Stephen K. 2003. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Edisi Kedua. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Sztompka, Piotr. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.

TEORI MODERNITAS KONTEMPORER

TEORI MODERNITAS KONTEMPORER
Oleh : Nurdin Taher

A.       Teoritisi Klasik tentang Modernitas

Karl Marx, Weber, Durkheim, dan Simmel, merupakan empat tokoh atau teoritisi sosiologi klasik yang mengkaji atau menganalisis tentang masyarakat modern. Keempatnya membahas masalah kemunculan dan pengaruh modernitas, terutama adalah kritik atas masalah yang dihadapi oleh kehidupan modern.
Menurut Marx, modernitas ditentukan oleh ekonomi kapitalis, yang ditandai dengan kemajuan yang ditimbulkan oleh transisi dari masyarakat sebelumnya ke masyarakat kapitalisme. Weber menyatakan bahwa masalah kehidupan modern yang paling menentukan adalah perkembangan rasionalitas formal dengan mengorbankan tipe rasionalitas lain dan mengakibatkan munculnya kerangkeng besi rasionalitas. Modernitas bagi Durkheim, ditentukan oleh solidaritas organik dan pelemahan kesadaran kolektif. Sedangkan Simmel menjelaskan modernitas berdasarkan tiga pandangan, yaitu :  
1.      Modernisasi memberikan keuntungan bagi umat manusia, terutama fakta bahwa melalui modernisasi manusia mampu mengungkapkan berbagai potensi yang belum terungkapkan, tersembunyi, dan yang tertekan dalam masyarakat pramodern.
2.      Uang memberikan pengaruh yang besar terhadap modernitas
3.      Uang juga memberikan akibat merugikan terhadap modernitas, terutama alienasi.

B.       Modernitas Juggernaut
Istilah Juggernaut (panser-raksasa) diperkenalkan oleh Giddens untuk meggambarkan kehidupan modern. Istilah ini dikembangkan oleh Giddens untuk menciptakan kesan menandingi pemikir klasik seperti Weber dengan konsep kerangkang bajanya. Dengan menggunakan terminologi “panser raksasa”, Giddens bermaksud menentang pendapat pakar yang menyatakan bahwa kita telah memasuki era post-modern, meski ia menyatakan kemungkinan munculnya tipe post-modernisme di masa datang.
Modernitas dalam bentuk panser raksasa ini sangat dinamis. Kehidupan modern adalah sebuah “dunia tak terkendali (runaway world) dengan langkah, cakupan, dan kedalaman perubahannya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem sebelumnya.
Gagasan yang menganalogkan modernitas dengan “panser raksasa” yang sedang melaju itu sangat sesuai dengan teori strukturasi, terutama sesuai dengan pentingnya ruang dan waktu dalam teori itu. Citra panser raksasa dimaksudkan untuk menerangkan bahwa mekanisme modern ini jauh lebih besar kekuasannya ketimbang agen yang mengemudikannya.
1.      Modernitas dan Konsekuensinya
Modernitas menurut Giddens dapat dilihat dari empat institusi mendasar, yakni :
a.       Kapitalisme, yang ditandai oleh produksi komoditi, pemilikan pribadi atas modal, tenaga kerja tanpa properti (propertyless), dan sistem kelas yang berasal dari ciri-ciri tersebut.
b.      Industrialisme, yang melibatkan penggunaan sumber daya alam dan mesin untuk memproduksi barang.
c.       Kemampuan menagawasi (surveilance capacities), mengacu pada pengawasan atas aktivitas warga negara individual (terutama, tetapi bukan semata-mata) dalam bidang politik.
d.      Kekuatan militer atau pengendalian atas alat-alat kekerasan,  termasuk industrialisasi peralatan perang.
Modernitas memperoleh dinamismenya melalui tiga aspek penting teori strukturasi Giddens, yaitu :
a.      Pemisahan waktu dan ruang atau distanciation
Pemisahan waktu dan ruang adalh penting bagi modernitas karena beberapa alasan, antara lain: pertama, memungkinkan tumbuhnya organisasi rasional seperti birokrasi dan negara bangsa dengan dinamismenya dan kemampuannya untuk menghubungkan otoritas lokal dan global; kedua, kehidupan modern ditempatkan dalam pengertian radikal dari sejarah dunia dan itu dapat menimbulkan kesan bahwa sejarah membentuk masa kini; dan ketiga, pemisahan ruang dan waktu seperti itu adalah syarat utama bagi sumber kedua dinamisme dalam modernitas yang menurut Giddens sebagai keterlepasan (disembedding).
b.      Kepercayaan
Kepercayaan didefinisikan sebagai kepercayaan terhadap keandalan (reliability) seseorang atau sistem berkenaan dengan sekumpulan kejadian atau hasil tertentu dan kepercayaan itu menyatakan keyakinan terhadap kejujuran atas kecintaan orang lain atau terhadap kebenaran prinsip-prinsip abstrak (pengetahuan teknis).
c.       Refleksivitas (reflexivity)
Dalam modernitas refleksivitas mempunyai arti khusus, di mana praktik sosial terus menerus diuji dan diubah berdasarkan informasi yang baru masuk yang paling praktis, dan dengan demikian mengubah ciri modernitas itu. Apa saja terbuka untuk direfleksikan dalam kehidupan modern termasuk refleksi itu sendiri.
Telah disebutkan bahwa modernitas juga menimbulkan konsekuensi berupa akibat negatif di dalam panser raksasa modernitas. Menurut Giddens, pertama, karena kesalahan rencana dalam dunia modern; orang yang merencanakan unsur-unsur dunia membuat kesalahan. Kedua, karena kegagalan operatornya; mereka yang menjalankan dunia modern. Namun, Giddens memberikan peran utama pada dua faktor lain – akibat tak diharapkan dan refleksitas pengetahuan sosial. Artinya, konsekuensi dari tindakan untuk sebuah sistem tak pernah dapat diramalkan sepenuhnya dan pengetahuan baru terus menerus memberangkatkan sistem menuju arah baru.
2.      Modernitas dan Identitas
Menurut Giddens, dunia modern sebagai refleksif, dan Giddens menyatakan, refleksivitas modernitas meluas hingga ke inti diri ... kedirian menjadi sebuah proyek refleksif. Artinya, diri menjadi sesuatu yang direfleksikan, diubah dan dibentuk.
Dunia modern menimbulkan “keterasingan pengalaman” (sequestration of experience) atau “proses yang berkaitan dengan penyembunyian yang memisahkan rutinitas kehidupan sehari-hari dari fenomena-fenomena, sebagai berikut: kegilaan, kriminalitas, penyakit dan kematian; dan seksualitas.
3.      Modernitas dan Intimasi
Dalam kehidupan modern, keintiman dan seksualitas telah terasingkan.Upaya refleksif untuk menciptakan hubungan intim murni harus dilakukan dalam konteks yang terpisah dari masalah etika dan moral yang lebih luas. Tetapi, tatanan kehidupan modern ini mendapat tekanan karena orang, khusunya wanita, berupaya merenungkan diri mereka sendiri dan orang lain.

C.       Masyarakat Berisiko
Menurut Beck, kita masih terus berada dalam kehidupan modern, walaupun dalam bentuk modernitas baru. Tahap “klasik” modernitas sebelumnya berkaitan dengan masyarakat industri, sedangkan kemunculan modernitas baru berkaitan dengan masyarakat berisiko. Beck menamakan masyarakat baru atau yang baru muncul ini modernitas refleksif (reflexive modernity).
Beck melihat terhentinya modernitas dan transisi dari masyarakat industri klasik ke masyarakat berisiko yang meski berbeda dari pendahulunya namun masih terus mempunyai berbagai ciri masyarakat industri.
1.      Menciptakan Risiko
Risiko sebagian besar diciptakan oleh sumber kekayaan dalam masyarakat modern. Industri dan pengaruh sampingannya menimbulkan sejumlah besar akibat yang berbahaya, bahkan mematikan, bagi masyarakat sebagai akibat globalisasi dunia secara keseluruhan. Menurut Beck, risiko modernitas ini tak hanya terbatas pada satu tempat saja  atau tak terbatas dalam waktu. Kelas sosial adalah sentral dalam masyarkat industri dan risiko adalah fundamental dalam masyarakat berisiko, risiko dan kelas adalah saling berkaitan. 
2.      Mengatasi Risiko
Meskipun modernisasi menghasilkan risiko, ia juga menghasilkan refleksivitas yang memungkinnya untuk mempertanyakan dirinya sendiri dan risiko yang dihasilkannya. Rakyat itu sendiri sebagai korban dari risiko itu, yang mulai merefleksikan risiko modernisasi itu. Mereka melakukan ini sebagian karena mereka tak lagi percaya kepada ilmuwan dalam meneliti ancaman bahaya modernisasi itu. Subkelompok dan individu ini menjadi refleksif dan lebih mampu mawas diri ketimbang yang dapat dilakukan pemerintahan sentral, dan mereka lebih berkemampuan untuk memikirkan serta lebih baik dalam menanggulangi risiko yang berkaitan dengan modernitas terdahulu.

D.      McDonaldisasi dan Alat Konsumsi Baru
1.      McDonaldisasi
Fakta bahwa restoran cepat saji (fast-food) mencerminkan paradigma masa kini dari rasionalitas formal. Ada empat dimensi atau komponen rasionalitas formal, yakni:
a.       Efisiensi, berarti mencari cara yang terbaik untuk mencapai tujuan;
b.      Kemampuan untuk diprediksi (predictability), berarti dunia tanpa kejutan;
c.       Lebih menekankan kuantitas ketimbang kualitas, sistem rasionalitas cenderung lebih menekankan pada kuantitas, biasanya kuantitas besar, ketimbang kualita;
d.      Penggantian teknologi nonmanusia untuk teknologi manusia; dan
e.       Sistem rasional formal menimbulkan berbagai macam ketakrasionalan, dan yang paling menonjol adalah demistifikasi dandehumanisasi pengalaman makan.
2.      Alat-alat Konsumsi Baru
Konsep arti baru konsumsi diturunkan dari karya Karl Marx. Alat-alat konsumsi didefinisikan sebagai hal-hal yang memungkinkan orang untuk mendapatkan barang dan jasa dan dikontrol serta dieksploitasi dalam kapasitasnya sebagai konsumen. Semua alat konsumsi baru itu adalah modern dalam pengertian bahwa alat-alat itu sebagian besar adalah inovasi baru yang muncul dan berkembang pada paruh terakhir abad dua puluh. Alat konsumsi baru adalah bersifat modern dalam pengertiannya yang lebih penting, yakni alat-alat itu sangat rasional atau ter-McDonaldisasi-kan.
Jadi, kita dapat melihat alat-alat konsumsi baru sebagai sangat rasional dan karena itu merupakan fenomena modern.

E.       Modernitas dan Holocaust
Menurut Ritzer paradigma modern rasionalitas formal adalah restoran cepat saji, sedang menurut Bauman, paradigma modern adalah holocaust, penghancuran sistematis orang Yahudi oleh Nazi. Menurut bauman, karena direncanakan dengan kompleks dan dilaksanakan dengan maksud tertentu, maka Holocaust itu dapat dipandang sebagai paradigma modern rasionalitas birokrasi.
1.      Produk Modernitas
Bauman memandang Holocaust bukan sebagai kejadian abnormal sebagaimana kebanyakan orang, tetapi melihatnya dalam berbagai hal sebagai aspek “normal” dari kehidupan rasional modern. Jadi, menurut Bauman, Holocaust adalahproduk modernitas dan bukan akibat kerusakan modernitas seperti pandanngan kebanyakan orang. Menurut istilah Weberian, ada “afinitas elektif” (elective affinity) antara Holocaust dan modernitas. Modernitas, seperti yang melekat dalam sistem rasional ini, belum menjadi kondisi yang mencukupi (sufficient condition) untuk menghasilkan Holocaust, namun jelas merupakan kondisi yang diperlukan (necessary condition). Tanpa modernitas dan rasionalitas, “Holocaust tak mungkin terjadi.
2.      Peran Birokrasi
Tak seperti kebanyakan pengamat lain, Bauman tak melihat birokrasi sebagai alat netral yang dapat digerakkan ke setiap arah. “Birokrasi diprogramkan untuk bertindak optimum dalam arti seperti tak dapat membedakan antara tujuan seorang manusia dan tujuan manusia lainnya atau tujuan yang berperikemanusiaan dan tujuan yang tak berperikemanusiaan”.
Birokrasi dan para pejabatnya tak dapat menciptakan Holocaust berdasarkan kemauannya sendiri; masih ada faktor lainnya yang diperlukan.
a.       Adanya kontrol mutlak aparatur negara yang memegang monopoli untuk melakukan tindakan kekejaman terhadap anggota masyarakat yang lain.
b.      Pahan antisemitisme, bahwa berdasarkan paham ini orang Yahudi secara sistematis dipisahkan dari anggota masyarakat lainnya dan dipropagandakan seolah-olah mereka menghalangi-halangi Jerman menjadi masyarakat “sempurna”.
c.       Faktor lainnya adalah bahwa di dalam struktur masyarakat modern, seperti birokrasi, tidak ada tempat bagi pertimbangan moral. Ketiadaan pertimbangan moral demikian adalah alasan lain untuk menyatakan bahwa Holocaust benar-benar merupakan sebuah fenomena modern.
3.      Holocaust dan McDonaldisasi
Holocaust memiliki seluruh ciri-ciri McDonaldisasi. Ciri-ciri McDonaldisasi yang paling sesuai dengan Holocaust adalah irasionalitas dari rasionalitas, terutama dehumanisasi.
Modernitas membanggakan dirinya sebagai kehidupan yang beradab, mempunyai upaya penjagaan sehingga sesuatu seperti Holocaust itu takkan pernah terjadi. Untuk mencegah Holocaust lain dibutuhkan moralitas yang kuat dan kekuatan politik pluralistis. Tetapi mungkin pada suatu masa ada satu kekuatan tunggal yang mendominasi dan tak banyak hal yang membuat kita percaya bahwa ada sistem moral yang cukup kuat untuk mencegah pertemuan pemimpin yang kuat dengan birokrasi. 

F.       Modernitas: Proyek yang Belum Selesai
Pandangan bahwa modernitas sebagai “proyek yang belum selesai”, merupakan pandangan Habermas. Modernitas sebagai “proyek yang belum selesai”, dalam arti bahwa masih banyak yang harus dikerjakan dalam kehidupan modern sebelum kita mulai berpikir mengenai kemungkinan kehidupan post-modern. Habermas menganggap modernitas berbeda dengan dirinya sendiri. Artinya, bahwa rasionalitas (sebagian besar rasionalitas formal) yang mencirikan sistem sosial berbeda dan bertentangan dengan rasionalitas yang menandai kehidupan sehari-hari. Sistem sosial berkembang semakin kompleks, terdiferensiasi, terintegrasi, dan ditandai oleh pertimbangan instrumental.
Salah satu masalah yang dibahas Habermas adalah makin bertambahnya masalah yang dihadapi oleh negara kesejahteraan sosial yang birokratis dan modern. Menurut Habermas, masalah tersebut harus diselesaikan dalam rangka hubungan antara sistem dan kehidupan dunia. Pertama, “rintangan pengendali” (restraining barrier) harus digunakan untuk mengurangi pengaruh sistem terhadap kehidupan dunia. Kedua, “sensor” harus dibangun untuk meningkatkan pengaruh kehidupan dunia terhadap sistem. Habermas menyimpulkan bahwa masalah masa kontemporer tak dapat diselesaikan “dengan sistem pembelajaran untuk  berfungsi secara lebih baik. Impuls-impuls kehidupan dunia harus mampu berperan dalam pengendalian sendiri dari sistem fungsional.
Habermas versus Post-Modernis
Habermas juga mengkritik pemikir post-modernisme. Kritik Habermas terhadap pemikir post-modernisme, sebagai berikut:
1.      Pemikir post-modernis itu kurang tegas mengenai apakah mereka menciptakan teori yang serius atau kesusastraan
2.      Pemikir modernis dijiwai oleh sentimen normatif, namun sentimen mereka itu disembunyikan dari pembaca.
3.      Post-modernisme sebagai perspektif yang gagal “membedakan fenomena dan praktik yang terjadi dalam masyarakat modern.
4.      Pemikir post-modern dituduh mengabaikan praktik kehidupan dunia, yang justru menjadi sasaran perhatian mutlak Habermas. Kekeliruan ini merupakan kerugian ganda bagi pemikir post-modern.
Konsep modernitas tak lagi datang dengan janji kebahagiaan. Tetapi, meski ada yang terlihat untuk bentuk kehidupan ini. Lantas apalagi yang tersisas untuk kita kecuali pencarian perbaikan praktis di dalam bentuk kehidupan ini?

G.      Informasionalisme dan Masyarakat Jaringan
Revolusi teknologi informasi (televisi, komputer, dan sebagainya) telah memunculkan masyarakat, kultur, dan eknomi baru. Kemunculan masyarakat, kultur, dan ekonomi baru dari sudut pandang revolusi teknologi informasi, yang dimulai di Amerika pada 1970-an, pertama kali diperiksa oleh Manuel Castells. Revolusi ini pada gilirannya mengakibatkan restrukturisasi fundamental terhadap sistem kapitalis yang dimulai pada 1980-an dan memunculkan apa yang oleh Castells disebut dengan “kapitalisme informasional”. Selain itu, muncul pula “masyarakat informasional. Keduanya didasarkan pada “informasionalisme” (sebuah mode perkembangan di mana sumber utama produktivitas adalah kapasitas kualitatif untuk mengoptimalkan kombinasi dan penggunaan faktor-faktor berbasis pengetahuan dan informasi”.
Castells menganalisis paradigma teknologi informasi dengan lima karakteristik dasar.
1.      Teknologi yang bereaksi berdasarkan informasi;
2.      Informasi adalahbagian darin aktivitas manusia, teknologi-teknologi ini mempunyai efek pervasif;
3.      Semua sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh “logika jaringan” yang membuatnya bisa mempengaruhi berbagai proses dan organisasi;
4.      Teknologi baru sangatlah fleksibel, membuatnya bisa beradaptasi dan berubah secara konstan; dan
5.      Teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi berpadu dengan sistem yang terintegrasi.
Seiring dengan perkembangan informasionalisme dan masyarakat jaringan, pada 1980-an muncul pula ekonomi informasional global baru yang semakin menguntungkan. “Ekonomi itu bersifat informasional karena produktivitas dan daya saing dari unit-unit atau agen-agen dalam ekonomi ini (entah itu perusahaan, kawasan, atau bangsa) secara mendasar tergantung kepada kapsitas mereka untuk menghasilkan, memproses, dan mengaplikasikan pengetahuan informasi seacar efisien”. Ekonomi itu bersifat global karena karena ia mempunyai “kapasitas untuk bekerja secara eral time pada skala dunia (planetary)”.
Seiring dengan bangkitnya ekonomi informasional global adalah munculnya pula bentuk organisasional baru, perusahaan jaringan (network enterprise). Menurut Castells, “bentuk organisasi baru telah muncul sebagai karakteristik dari ekonomi global/informasional, yakni perusahaan jaringan yang didefinisikan sebagai “bentuk perusahaan spesifik yang sistem alatnya terdiri dari interseksi dari segmen-segmen sistem tujuan otonom”.
Castells juga menyebutkan tentang kemunculan dari kultur virtualitas riil (real virtuality), “sebuah sistem di mana realitas itu sendiri (yakni eksistensi simbolik/material seseorang) seluruhnya ditangkap, dibenamkan ke dalam setting imaji virtual, di dunia khayalan (make believe), di mana kemunculannya (appearances) bukan hanya pada layar (screen) yang melaluinya pengalaman dikomunikasikan, tetapi juga kemunculan itu menjadi pengalaman”.
Menurut Castells, perkembangan ajringan, kultur virtualitas riil (real virtuality), informasionalisme, dan khususnya penggunaannya dalam kapitalisme informasional, berjalan bukan tanpa tantangan. Perkembangan-perkembangan ini dilawan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok yang berusaha mempertahankan identitas mereka. Namun demikian, agar berhasil gerakan atnding ini harus bersandarkan pula pada informasi dan jaringan.
Perkembangan informasionalisme dan masyarakat jaringan ini juga mengancam posisi negara. Menurut Castells, negara semakin tak berdaya di era globalisasi ekonomi ini dan semakin tergantung kepada pasar kapital global. Misalnya, negara-negara menjadi tak mampu untuk melindungi program kesejahteraan (welfare) mereka karena ada ketidakseimbangan di dunia yang akan membuat kapital condong ke negara-negara dengan biaya kesejahteraan yang rendah. Selain itu, yang juga menggerogoti kekuatan negara adalah komunikasi global yang mengalir bebas keluar masuk setiap negara.
Berdasarkan orientasi kritisnya, khusunya kepada kapitalisme informasional dan ancamannya terhadap diri, identitas, kesejahteraan, dan eksklusinya terhadap sebagian besar belahan dunia, Castells, menyimpulkan bahwa ketika kapitalisme informasional dan ancamannya terwujud, maka “ekonomi kita, masyarakat kita, dan kebudayaan kita, ... akan membatasi kreativitas kolektif, mengambil alih hasil teknologi informasi, dan membelokkan energi kita ke arah penghancuran diri sendiri”. Akan tetapi, hal itu tak mesti terjadi karena “tak ada yang tak dapat diubah oleh tindakan sosial yang sadar dan bertujuan”.
H.      Teori Globalisasi
Teori globalisasi muncul sebagai akibat dari serangkaian perkembangan internal teori sosial, khusunya reaksi terhadap perspektif terdahulu seperti teori modernisasi. Globalisasi dapat dianalisa secara kultural, ekonomi, politik, dan atau institusional. Globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional dari kode dan praktik bersama (homogenitas), atau sebagai proses di mana banyak input kultural lokal dan global saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan yang mengarah ke pencangkokan kultur (heterogenitas). Dari segi ekonomi, para teoritisi menekankan arti penting ekonomi dan efeknya yang bersifat homogenizing terhadap dunia. Mereka umumnya melihat globalisasi sebagai penyebaran ekonomi pasar ke seluruh kawasan dunia yang berbeda-beda. Orientasi politik/institusional menekankan pada dua domain, yaitu homogenitas atau heterogenitas.

Teori-Teori Globalisasi
1.      Perspektif Neo-Marxian Kellner tentang Globalisasi
Douglas Kellner menfokuskan teorinya pada realitas kapitalisme sekarang di mana teknologi memegang peran yang semakin penting. Menurut Kellner, “kunci untuk memahami globalisasi adalah menyusun teori tentangnya sebagai produk dari revolusi teknologi sekaligus restrukturisasi global kapitalisme”. Yang merupakan hal penting bagi Kellner, dan refleksi dari perspektif dialektikanya, adalah pemikirannya tentang internet. Teknologi baru ini dipakai dengan berbagai macam cara untuk mempromosikan globalisasi kapitalis. Akan tetapi, internet juga dipakai untuk memobilisasi orang-orang yang menentang globalisasi. Jadi, Kellner melihat potensi demokrasi utopian di dalam teknologi baru ini, tetapi pada tingkat menimum teknologi baru itu mengubah globalisasi menjadi daerah persaingan.
2.      Giddens tentang “Runaway World” dari Globalisasi
Pandangan Giddens tentang globalisasi terkait erat dan tumpang tindih (overlap) dengan pemikirannya tentang juggernaut modernitas. Giddens melihat kaitan erat antara globalisasi dan risiko, khusunya munculnya apa yang dia namakan manufactured risk. Menurut Giddens, “globalisasi adalah restrukturisasi cara  kita menjalani hidup, dan dengan cara yang sangat mendalam. Ia berasal dari barat, membawa jejak kekuasaan ekonomi dan politik Amerika ...”. Akan tetapi, Giddens juga mengakui bahwa globalisasi adalah proses dua arah, dengan Amerika dan Barat sebagai kawasan yang paling banyak terkena pengaruhnya. Lebih jauh Giddens, menyebutkan “globalisasi menjadi semakin decented”.
3.      Beck dan Politik Globalisasi
Globalisasi adalah pandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan kita menyaksikan munculnyahegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberal yang menopangnya. Menurut Beck, ini melibatkan pemikiran linier dan monokausal. Multidimensionalitas dari perkembangan global – ekologi, politik, kultur, dan masyarakat sipil – direduksi menjadi dimensi ekonomi saja. Dan dimensi ekonomi itu dilihat, lagi-lagi secara keliru, bergerak dalam arah linier menuju pada semakin menguatnya ketergantungan kepada pasar dunia. Beck, melihat dunia dari sudut pandang yang lebih multidimensional dan multidireksional. Selain itu, Beck, juga sangat sensitif terhadap problem yang diasosiasikan dengan pasar dunia kapitalis, termasuk fakta bahwa ada segala macam rintangan untuk perdagangan bebas dan bahwa dalam pasar dunia segala macam rintangan untuk perdagangan bebas dan bahwa dalam pasar dunia ini bukan hanya ada pemenang, tetapi juga (banyak) pecundang.
Menurut Beck, “globalisasi berarti bahwa mulai sekarang tak ada kejadian di planet kita yang hanya pada situasi lokal terbatas; semua temuan, kemenangan dan bencana mempengaruhi seluruh dunia”.
Menurut Beck, globalisasi adalah proses baru, karena tiga alasan, yaitu:
a.       Pengaruhnya atas ruang geografis jauh lebih ekstensif;
b.      Pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil; pengaruhnya terus berlanjut dari waktu ke waktu; dan
c.       Ada densitas (density) yang lebih besar untuk “jaringan transnasional, hubungan dan arus pekerjaan jaringan”.
Selain itu, Beck juga mendaftar sejumlah hal lainnya yang mencolok yang berkaitan dengan globalitas ketika membandingkannya dengan manifestasi lain dari transnasionalitas, yaitu:
·           Kehidupan sehari-hari dan interaksi lintas batas negara semakin terpengaruh
·           Ada persepsi diri tentang transnasionalitas ini dalam bidang-bidang seperti media massa, konsumsi, dan pariwisata (tourism)
·           Komunitas, tenaga kerja, kapital semakin tak bertempat (placeless)
·           Bertambahnya kesadaran tentang bahaya ekologi dan tindakan yang harus diambil untuk menanganinya
·           Meningkatnya persepsi transkultural dalam kehidupan kita
·           Industri-industri kultur global beredar pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya
·           Peningkatan dalam “jumlah dan kekuatan aktor-aktor, institusi, dan kesepakatan transnasional”.
4.      Bauman tentang Konsekuensi Globalisasi Manusia
Bauman (1998) melihat globalisasi dari segi “perang ruang”. Menurut Bauman, “mobilitas menjadi faktor penstratifikasi yang paling kuat dan paling diharapkan” di dunia sekarang ini. Jadi, pemenang dari perang ruang ini adalah mereka yang mobile: mampu untuk bergerak secara bebas ke seluruh dunia dan dalam proses untuk menciptakan makna bagi diri mereka sendiri.
5.      Ritzer tentang “Globalization of Nothing”
Menurut Ritzer, globalisasi adalah bukan sesuatu (globalization is nothing). Jadi, menurut Ritzer, globalisasi cenderung menyebarkan nothing ke seluruh dunia.
Nothing didefinsikan oleh Ritzer (secara umum)  adalah bentuk yang dibayangkan dan dikontrol secara sentral yang (sebagian besar) kosong dari isi yang distingtif. Sebalinya, sesuatu (something) didefinisikan sebagai bentuk yang dibayangkan dan dikontrol secara indigenous yang (sebagian besar) kaya dalam isi distingtif. Jadi, menurut Ritzer, adalah lebih mudah untuk mengekspor bentuk-bentuk kosong ke seluruh dunia ketimbang mengekspor bentuk-bentuk yang penuh dengan isi (sesuatu atau something). Karen kosong dari isi distingtif, maka bentuk-bentuk kosong lebih kecil kemungkinannya berkonflik dengan isi lokal.  Selain itu, bentuk-bentuk kosong mempunyai keuntungan lain dari sudut pandang globalisasi, termasuk fakta bahwa karena mereka sangat minimalis, mereka mudah bereplikasi terus menerus dan lebih menguntungkan karena reproduksinya relatif murah.
Ada empat subtipe nothing, yaitu :
a.       Non-places atau setting yang sebagian besar kosong dari isi, misalnya mall;
b.      Non-thing, seperti kartu kredit, di mana tak banyak berbeda dari satu kartu kredit seseorang dengan jutaan kartu kredit orang lain dan cara penggunaannya persis sama;
c.       Non-people, atau jenis karyawan yang diasosiasikan dengan, misalnya, telemarketer dan yang berinteraksi dengan semua konsumen dengan cara yang hampir sama, mengandalkan pada scripts; dan
d.      Non-services, seperti yang disediakan oleh ATM (pelayanan yang disediakan sama; konsumen mengerjakan semuanya untuk mendapatkan pelayanan) yang berbeda dengan seorang karyawan teller bank.
Jadi, argumen dasarnya dalah bahwa globalisasi membawa penyebaran nothingness ke seluruh dunia. Secara lebih spesifik, kita menyaksikan proliferasi global menuju nothing, yang dicirikan oleh konsepsi dan kontrol terpusat, kurangnya isi yang distingtif, generik, kurangnya ikatan lokal, time-lesness, dehumanisasi, dan kekecewaan (disenchantment).
6.      “Landscape” Appadurai
Appadurai menguraikan globalisasi dalam lima arus global dan keterputusan di antara arus-arus tersebut. Kelima arus global ini menjadi lanskap inti pemikiran Appadurai.
a.    Ethnoscape, adalah kelompok atau aktor yang mobile (turis, pengungsi, pekerja tamu) yang memainkan peran penting dalam pergeseran-pergeseran di dunia di mana imajinasi kita tinggal.
b.    Technoscapes, adalah konfigurasi global dari “teknologi dan fakta bahwa teknologi, baik teknologi tinggi maupun rendah, baik yang mekansitik maupun informasional, kini bergerak dengan kecepatan tinggi melintasi berbagai jenis batasan yang dulu ada”.
c.    Financescapes, adalah yang melibatkan proses yang dengannya “pasar, bursa saham nasional, dan spekulasi komoditas menggerakkan megamonies melalui batas-batas nasional dengan kecepatan tinggi”.
d.    Mediascapes, adalah distribusi kapabilitas elektronik untuk menghasilkan dan menyebarkan informasi (koran, majalah, televisi, studio pembuat film), yang sekarang tersedia untuk kepentingan publik dan swasta yang semakin banyak dan ... imaji dunia-dunia yang diciptakan oleh media ini.
e.    Ideoscapes, adalah serangkaian imaji “tetapi bersifat politis dan berhubungan langsung dengan ideologi negara dan kontraideologi dari gerakan-gerakan yang secara eksplisit berorientasi untuk merebut kekuasaan negara atau sebagian dari kekuasaan itu”.
Ada dua hal yang secara khusus perlu dicatat tentang lanskap Appadurai. Pertama, lanskap-lanskap itu dapat dilihat sebagai proses global yang sebagian atau seluruhnya terlepas dari negara-bangsa manapun. Kedua, arus global mengalir bukan hanya melalui lanskap tersebut tetapi juga semakin meningkat dan melalui disjungtur (disjuncture) di antara mereka.